“Cahaya Dunia”
Oleh : Rahmi Intan
Masih melamun di tengah hiruk-pikuk
metropolitan menghadap lalulalang manusia berjalan hilir-mudik. Terkadang ada
juga yang tak tentu arah ke mana mengayunkan kaki. Sama sepertinya yang tak
tahu ke mana mengayunkan kaki. Masih terdiam duduk di halte berpikir tujuan ke
mana yang hendak dicapai.
“Ke mana tempat impianmu?”
Pertanyaan itu masih terngiang di
benaknya. Menyita pikiran kosong yang sempat membias. Belum terpikir untuknya
pergi ke mana saat sekarang. Ditambah lagi semangatnya yang kendor beberapa
hari ini, disebabkan tidak sempat mengikuti screening
perekrutan anggota baru jurnalistik di kampus karena terlambat mendapat info
terbaru. Padahal ia sangat ingin mengikuti unit kegiatan mahasiswa jurnalistik.
Ada hal yang membuat hatinya kuat ingin menjadi anggota itu. Sayangnya takdir
belum bisa mengatakan iya.
“Ada drama Korea baru. Mau pinjam?”
tanya seseorang mengejutkan dari samping sambil tegak berdiri.
Cepat ia menoleh kepada si pemberi
kaset Korea. Alia dan Resi tersenyum sumringah menatap bola matanya yang sedari
tadi sedikit berkaca. Kedua sahabat itu enggan bertanya tentang matanya yang
berkaca. Tanpa diberitahu pun mereka tahu bahwa ia tengah bersedih pasal
peristiwa beberapa hari yang lalu. Apalagi neneknya dirawat di rumah sakit
sejak divonis penyakit alergi berkepanjangan. Membuat ia berpikir keras pada
kesembuhan Nenek.
“Cobalah untuk lebih bersabar lagi!
Setiap senyum manis yang terlukis di bibirmu adalah obat tersendiri untuk
nenekmu. Kuyakin ia bisa sembuh jika kau juga sembuh. Bagaimana mungkin beliau
bisa sembuh jika kau sendiri duduk berdiam diri di sini?” gumam Alia.
“Tontonlah drama Korea ini. Kau bisa
menemukan jawaban atas pertanyaan jurnalistikmu tempo hari. Semoga terhibur!
Jangan bersedih! Kau harus mengerti lebih banyak lagi,” sambung Resi
menyodorkan kaset Korea padanya.
Ia langkahkan kaki menuju rumah
sakit menengok keadaan Nenek berbaring tak berdaya menghadapi ujian dari-Nya.
Kedua sahabat membiarkannya pergi secepat kilat. Sepintas saja ia langsung ke
rumah, menghidupkan televisi, dan memasukkan kaset pada DVD player. Sangat penasaran sekali. Cepat
ia putar drama Korea yang diberikan sahabat-sahabatnya tadi. Duduklah ia di
depan televisi menonton episode
pertama.
Hampir dua jam ia menatap layar
penuh konsentrasi. Memang, sebelumnya ia sering menonton drama Korea dengan
judul dan permasalahan yang berbeda-beda. Awalnya ia tak ada inspirasi ke mana
tempat impian. Akhirnya sekarang ada yang membuatnya tertarik ke mana akan
pergi.
“Setiap orang punya tempat impian.
Sekarang kutahu di mana tempat impianku.”
Korea, ya, Korea. Tempat impiannya
adalah Korea dengan berjuta imajinasi para penulis skenario, crew film di sana. Itulah yang terpikir
olehnya saat ini setelah menonton drama Korea tadi.
“Kenapa
penyiar berita selalu menyampaikan fakta dibalut dampak? Kenapa penyiar lebih
mementingkan berita bahagia daripada berita penting?”
Lama juga berpikir, akhirnya
pertanyaan jurnalistik satu minggu lalu terjawab olehnya. “Sensasi lebih utama dari permasalahan berharga”. Mungkin Allah
belum membolehkannya mengikuti UKM itu.
Malam hari ia pergi ke rumah sakit
menjenguk Nenek yang semakin hari semakin parah. Kedua sahabat telah berada di
sana sembari memegang tangan Nenek yang kedinginan. Meski alergi sensitif
menular ke siapapun, namun keduanya masih bisa memakai sarung tangan
menggenggam tangan neneknya.
“Terima kasih telah menemani
nenekku. Sekarang kutahu di mana tempat impianku.”
“Di mana?” tanya mereka serempak.
“Korea.”
Keduanya ternganga, “Apa alasanmu
memilih negara Korea sebagai tempat impian?”
“Teknologi. Lalu ilmu kedokteran dan
jurnalistik dari penulis skenarionya. Aku ingin ke sana menemui semua crew televisi yang bertugas. Kalau bisa,
kuingin terlibat pada drama yang mereka buat. Entah sebagai apa, yang penting
ikut.”
Kedua sahabat mengacungkan jempol
kepadanya, begitu juga Nenek tak kalah dari mereka. Ia tidak tahu saja apa yang
terjadi di Korea dan bagaimana keadaan di sana. Alia dan Resi mendukung
keputusannya memilih Korea sebagai sasaran tuju kelak. Ia sangat bersemangat
setelah mendapatkan dukungan dari mereka dan juga Nenek.
Esok paginya ia bersantai di depan
televisi sambil mendengarkan kabar berita dari salah satu stasiun televisi.
Mulutnya masih sibuk mengunyah kue, sesekali menyeruput susu di dalam gelas
yang terletak di atas meja. Remote
terus dalam genggaman. Ketika hendak menukar ke stasiun televisi lain, matanya
menangkap sosok mengharukan. Hatinya tergetar mendengar berita tersebut. Saat
itu yang ia ingat jelas adalah Allah.
“Sunita Williams, seorang wanita
India pertama yang pergi ke bulan pada tanggal
9 Juli 2011. Dia mengatakan bahwasannya dari bulan seluruh bumi
kelihatan hitam dan gelap kecuali dua tempat yang terang dan bercahaya, yaitu
Mekkah dan Madinah.”
Ia melanjutkan mendengar pernyataan
selanjutnya di televisi tanpa berkedip sedikit pun saking seriusnya.
“Berita kami lanjutkan, ‘Di Bulan
semua frekuensi suara tidak berfungsi, tapi saya mendengar suara adzan.’
Ucapnya. Para Astronot telah menemukan bahwa planet bumi mengeluarkan semacam
radiasi. Radiasi yang menghubungkan antara ka’bah di planet bumi dengan ka’bah
di alam. Di tengah kutub utara dan kutub selatan terdapat satu area yang
disebut zero magnetism area, di mana apabila
kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tidak akan
bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besar.”
Ia masih fokus mendengarkan berita.
“Itulah sebabnya jika seseorang
tinggal di Mekah maka ia hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak
dipengaruhi oleh kekuatan gravitasi. Prof Lawrence E Yoseph menyatakan bahwa
sekiranya orang Islam berhenti melakukan tawaf dan salat di muka bumi. Niscaya
terhentilah perputaran bumi karena rotasi dari super konduktor yang berpusat di
hajar aswad tidak memancarkan gelombang elektromagnetik. Sekian berita dari
kami. Terima kasih dan sampai jumpa kembali pukul 12 malam nanti,” ucap
Reporter di televisi.
Hati tambah tergetar mendengar
berita tersebut dan badannya menggigil. Tiba-tiba saja tempat impiannya berubah
kepada dua cahaya dunia itu, Mekah dan Madinah. Buru-buru ia mengambil langkah
seribu ke rumah sakit, ke ruangan rawat inap Nenek. Letih badan tak ia
pedulikan. Terus berlari sampai bertemu Nenek yang telah membesarkannya.
“Nek, hari ini aku berjanji,
semampuku akan mengajak Nenek untuk haji atau umroh. Entah itu kapan. Yang
jelas tempat impianku sebenarnya bukan Korea, melainkan Mekah dan Madinah.
Kupercaya tempat dua cahaya dunia ini adalah tempat impianku yang paling tepat.
Kuingin mengunjungi tempat yang seharusnya kita kunjungi,” ujarnya di hadapan
Nenek.
“Terima kasih, Cu! Sungguh, tempat
impian yang sangat mulia. Semoga Allah mengabulkan pinta di setiap doa di dalam
salatmu,” jawab Nenek tersenyum.
Ilustrasi gambar dari https://www.google.com/search?client=firefox-b-ab&biw=1280&bih=881&tbm=isch&sa=1&ei=E61qWuvQO4P2vATckq3YDg&q=gambar+kartun+kota+madinah&oq=gambar+kartun+kota+madinah&gs_l=psy-ab.3...61672.66251.0.66554.19.15.0.4.4.0.95.1110.15.15.0....0...1c.1.64.psy-ab..0.14.896...0j0i67k1j0i30k1j0i8i30k1.0.PVq-rxPStx8#imgrc=iO0T3jsB6MhJ-M:
No comments:
Post a Comment