“Dokter Gigi”
Oleh : Rahmi Intan
Ia menatap ke arah gunung menjulang
tinggi itu. Begitu menakjubkan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Menjadikan ia
begitu juga yang lain bisa belajar dari alam sekitar.
Waktu
itu pengumuman kelulusannya. Lama sekali ia dan teman-teman menunggu amplop
kelulusan. Hingga tiba di urutan namanya dipanggil ke depan kelas mengambil
amplop kelulusan. Di sana tertulis ‘LULUS’. Ia menghambur kegirangan memeluk
teman perempuan yang lain.
“Kapan ujian tes masuk kedokteran
gigi?” tanya orangtuanya.
“Besok. Doakan aku lulus semua
tesnya, Yah, Bu!”
Keduanya mengangguk tersenyum
melihat keceriaannya. Sebentar lagi ia akan belajar di salah satu Universitas
ternama jurusan kedokteran gigi. Setelah itu menjadi spesialis periodonsia atau
jaringan gusi dan penyangga gigi. Mendapat gelar Sp.Perio, itulah impiannya
saat ini. Tentunya telah dirancang sedemikian rapi sejak satu tahun belakangan.
Berangkatlah ia tes ke Universitas
aa. Selama beberapa jam ia tes tertulis dengan materi sains. Dilanjutkan tes
wawancara. Setelah itu tes kesehatan. Tinggal menunggu hasil keputusan Universitas
tersebut.
Esok dan hari seterusnya ia juga
melakukan tes di Universitas yang berbeda-beda dengan jurusan yang sama.
Berharap salah satu di antara beberapa Universitas yang diikuti, bisa satu di
antara Universitas itu menerimanya. Selesai semua itu, ia menunggu hasil
beberapa minggu ke depan.
“Bagaimana ujian tesmu, Nak?”
“Alhamdulillah, sukses!” jawabnya.
Dua minggu telah berlalu. Saatnya
melihat pengumuman kelulusan, siapa yang diterima di Universitas tahun ini.
Menjelang ia berangkat tiba-tiba saja penyakit typus melandanya. Mengantarkan ia berbaring di rumah sakit dan di
rumah selama satu bulan. Belum lagi penyakit maag kronis yang diderita.
Satu bulan terbaring di rumah sakit
membuat ia tak tahu kabar dari Universitas, disebabkan di tempatnya tidak ada
jaringan internet. Untuk mengetahui informasi lebih banyak, ia harus
sering-sering ke warung internet yang jaraknya sekitar 15 KM dari rumah. Butuh
waktu yang lama juga untuk sampai ke sana. Rasanya tidak mungkin baginya di
saat sekarang ke warung internet.
Ia
lalui masa kritis selama satu bulan. Kini ia telah sehat. Allah mencabut
penyakit typus yang ia derita, begitu
juga penyakit maag. Meski terkadang penyakit maagnya sering kambuh kalau terlambat makan.
Pergilah ia ke warung internet untuk
melihat satu Universitas lagi yang belum memberi kabar tentang kelulusannya.
Sepengatahuan teman-temannya ia lulus di dua Universitas, yaitu Universitas aa
dan Universitas bb dengan jurusan kedokteran gigi. Sayangnya ketua Universitas
tidak membolehkan registrasi kuliah lewat jadwal yang ditentukan. Makanya ia
tak bisa masuk ke kedua Universitas itu lantaran sakit yang diderita terlalu
lama. Tinggal satu Universitas lagi harapannya.
Jantung deg-degan sebelum membaca
pengumuman kelulusan di portal Universitas cc. Ia baca basmallah sebelum
membukanya. Alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa ia tidak lulus di Universitas
itu, disebabkan kesehatannya pada waktu itu tidak stabil. Ternyata penyakit
yang ia derita telah ada di dalam tubuh ketika tes kesehatan di Universitas cc.
Terbukti pada hasil tes urine.
“Maafkanku, Yah, Bu! Aku tidak lulus
di Universitas cc. Untuk mendaftar kuliah di negeri aku rasa tidak akan bisa
lagi. Mungkin di swasta bisa, tapi biaya kuliahnya jauh lebih mahal,” ucapku
bersimpuh di hadapan Ayah dan Ibu.
“Tak apa, Nak. Jalan masih panjang.
Kita coba saja mendaftar di swasta. Ayah tadi menemukan brosur ini di jalan.
Kalau kau bisa lolos di Yayasan ini jurusan kedokteran gigi, kau bisa menikmati
fasilitas lengkap. Kalau dilihat biayanya tidak terlalu mahal.”
“Baik. Besok aku akan mendaftar ke
sana, Yah, Bu.”
Pergilah ia mendaftar ke Yayasan tersebut.
Dilakukan pelbagai tes hingga ia dinyatakan lolos di Yayasan itu. Alangkah
girang hati sebentar lagi impiannya terwujud di kampus ini.
Inilah
hidup yang harus ia jalani. Kembali ia berbaring di rumah sakit disebabkan
penyakit usus buntu. Ia harus segera dioperasi.
Tidak
lama ia membutuhkan operasi. Satu minggu istirahat, ia telah bisa kembali
beraktifitas di kampus. Untuk masalah absen, ia bisa mengambil jatah dua kali
tidak hadir. Jadi tidak masalah, ia tetap bisa masuk dan mengikuti perkuliahan.
****
Hari ini hari yang paling
mengejutkan untuknya dan keluarga ketika ia divonis penyakit bell’s palsy. Suatu penyakit gangguan
saraf pada wajah. Gangguan ini terjadi akibat pembengkakan sehingga saraf tidak
dapat mengatur pergerakan otot. Otot-otot yang berhubungan langsung dangan
saraf tersebut menjadi tidak berfungsi dengan baik.
Awalnya matanya kering, telinga
berdengung, lidah mulai kaku, susah menggerakkan alis mata, kelopak matanya
sukar ditutup, leher dan pundaknya terasa kaku, dan gangguan pergerakan bola
mata lalu otot wajahnya. Ia terlihat tak berdaya dengan keadaan yang menimpa
dirinya sekarang. Mimpi menjadi dokter gigi ia kubur hari ini. Ia tidak tercatat
lagi di Yayasan itu. Fokus mengurus kesembuhannya.
“Semua telah digariskan oleh Allah,
Nak. Mungkin takdir belum memberikanmu kuliah di jurusan kedokteran gigi.
Sabarlah pada keadaan sekarang. Lawan penyakitmu!”
Hampir setahun ia bergelut dengan
penyakit bell’s palsy. Genap setahun
ia sembuh total dari penyakitnya. Kini ia telah bisa kembali beraktifitas
seperti sediakala. Ia coba mendaftar di Universitas yang sama dengan jurusan
berbeda dari tahun sebelumnya.
“Selamat! Anda lolos di Universitas
kami.”
Namanya terdapat pada urutan paling
atas. Bahagia bukan kepalang, melompat-lompat kegirangan ke sana kemari. Ia tak
begitu menyangka akan bisa kuliah. Bertemu teman-teman baru yang tak kalah asik
dengan teman-teman sekolah menengah atas dahulu. yang entah di mana sekarang.
“Allah itu Maha Adil. Allah pasti
tahu yang terbaik untuk pilihan hamba-Nya. Sebab Dia yang mengerti jalan hidup
ke mana hamba-Nya akan melangkah. Di antara manusia, pasti Allah akan
melebihkan sesuatu di antara manusia lain. Di sanalah letak syukur kita,” ujar
ibu mengelus kepalanya.
****
Ia masih menatap ke arah gunung
menjulang tinggi itu. Tiba-tiba temannya mengejutkan dari belakang.
“Sebentar lagi sidang munaqasah.
Sudah siap?”
“Ya. Alhamdulillah, sudah.”
Sidang berlangsung selama hampir
satu jam lebih. Sidang ini menentukan kelolosannya, apa bisa mendapat gelar
sarjana tahun ini atau tidak. Lama sekali menunggu, akhirnya ke empat dosen
sidang memutuskan ia bisa mendapat gelar sarjana tahun ini, yaitu S.Kom
(sarjana komputer).
“Alhamdulillah, akhirnya kau bisa
mendapat gelar sarjana. Jangan bersedih hati lagi! Gelar S.Kom lebih tepat
untukmu ketimbang gelar Sp.Perio. Namun, ilmu tentang kedokteran gigi yang kau
pelajari selama ini tetap dibagikan ke siapapun, Nak. Dokter gigi dan teknisi
komputer sama saja, sama-sama untuk membantu orang lain, bukan?” tutur ibu
menasehatinya.
Ia menatap kedua orangtuanya
dalam-dalam penuh kasih sayang berlimpah. Begitu keduanya setia mengurus
hidupnya dengan ikhlas tanpa meminta balasan sedikit pun. Dari nasehat orangtua
ia bisa hidup sesuai jalur.
“Terima
kasih untuk semuanya, Allah, telah memberiku pelajaran berharga bahwa Engkau
selalu bersamaku! Begitu juga kedua orangtuaku, terima kasih yang teramat
besar. Mungkin benar, gelar S.Kom lebih pantas untukku ketimbang gelar
Sp.Perio.”
Namun begitu, dokter gigi tetap
hidup dalam hatinya sampai kapanpun. Hingga nyawa berpisah dari badannya. Sebab
separuh hatinya ada di kedokteran gigi.
[Antologi
Cerpen bersama Penerbit Hikari Publishing]
Bukittinggi,
April 2015
Ilustrasi gambar dari https://www.google.com/search?client=firefox-b-ab&biw=1280&bih=881&tbm=isch&sa=1&ei=hJVqWvSnNonnvgS4_qrwDQ&q=gambar+perempuan+dokter+gigi+berjilbabkartn&oq=gambar+perempuan+dokter+gigi+berjilbabkartn&gs_l=psy-ab.3...29319.29319.0.29681.1.1.0.0.0.0.86.86.1.1.0....0...1c.1.64.psy-ab..0.0.0....0.A5IJhBQb-nE#imgdii=L0Z0NMVocpzthM:&imgrc=I539J8p50T7E_M:
No comments:
Post a Comment