Breaking

Selamat datang di blog Rahmi Intan. Blog ini mengenai seputar karya-karya Rahmi Intan

Wednesday, January 24, 2018

Catatan Empat Tahun Silam (Cerpen Sahabat)








“CATATAN  EMPAT TAHUN  SILAM”
Oleh: Rahmi  Intan

Tak terasa aku telah menamatkan Sekolah Menengah Atas Negeri tahun ini dengan hasil memuaskan, meninggalkan masa bersama teman-teman sebaya, dan kini siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan serius. Dulu, belajar malas-malasan, sekarang sudah tidak diterapkan lagi, harus mengendalikan diri, dan paling utama belajar menjadi manusia yang bertanggung jawab serta bisa membahagiakan kedua orangtua.
Berbagai alasan yang dilontarkan teman-temanku mengenai tempat kuliah yang didambakan masing-masing. Sesekali mereka bertanya padaku tentang tempat kuliah yang bagus dan berkualitas.
“Tempat kuliah yang bagus di mana?”
“Aku tidak tahu. Universitas Indonesia kali!”
“Ehh.. Institut Teknologi Bandung juga bagus kata orang.”
“Aduh! Kalian ini, memangnya kita harus kuliah jauh-jauh? Di daerah kita masih ada tempat kuliah berkualitas, agamanya kuat lagi,” selaku.
“Memangnya di mana?” tanya mereka, heran.
“Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri.”
“Yang di Bukittinggi itu?”
“Tepat sekali,” ucapku tersenyum.
Mereka semua terdiam, ada juga yang bengong dan ada yang berpikir-pikir. Entah apa yang dipikirkan, aku juga tidak tahu, yang jelas sepertinya mereka mencerna perkataanku tadi, dan mungkin sebentar lagi akan menelannya, aku hanya tersenyum hangat.
****
            Pagi itu, aku duduk di depan rumah sendirian, di tengah kicauan burung bernyanyi merdu, seakan ingin kumengiringinya. Tiba-tiba saja ingatanku mundur ke belakang, 4 tahun yang silam. Aku ingat pada seseorang yang baik hati, peduli, dan selalu setia bersama.
            Ketika itu, aku baru menamatkan Madrasah Tsanawiyah Negeri, lalu melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri. Di sekolah inilah, aku menemukan teman-teman baruku, teman-teman yang sepertinya bisa asyik diajak bercanda, bercerita-cerita, bahkan mungkin bisa diajak untuk bersedih, itulah pikiranku pertama kali bertemu dengan mereka. Rasanya ada suasana baru yang akan timbul, entah suasana apa itu. Bagai sebuah misteri.
            Kami saling memperkenalkan diri masing-masing, bahkan akan berencana membuat sebuah kelompok yang hanya beranggotakan kami berenam saja. Saking senang yang melonjak tinggi, kami semua pada akhirnya membuat kelompok yang diberi nama
Lighty
. Banyak yang bertanya-tanya mengenai nama kelompok kami.
Lighty itu apa?”
“Ingin tahu? Cari saja sendiri,” jawab temanku.
“Ini serius. Aku tanya baik-baik!”
“Iya, aku tadi bercanda. Lighty itu artinya Bercahaya.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya adalah kami ini baru bertemu, lalu membuat kelompok untuk memulai persahabatan baru yang bercahaya. Makanya kami sebut dengan nama Lighty.”
“Bukannya membuat kelompok itu tidak boleh? Kita di sini semuanya sama.”
“Hhmm.. Kamu sudah siap bertanya? Aku mau pergi.”
Itulah jawaban teman-temanku seputar kelompok yang kami buat bersama-sama. Kadang raut muka kesal tampak di wajah mereka yang bertanya, namun teman-teman tetap tidak menghiraukan.
            Di sela-sela kesibukan sekolah, bahkan juga kegiatan di luar sekolah, ternyata ada juga yang mau kenalan denganku. Seorang laki-laki dengan badan tinggi semampai, wajahnya terlihat tampan, dia bersekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri, beda dengan sekolahku. Aku bertemu dengannya di Perpustakaan Daerah, sempat bercerita panjang lebar juga dengannya.
“Nama kamu siapa?” tanyanya.
“Nindi. Kamu?”
“Restu. Sekolah di mana? Kelas berapa? Tinggal di mana?”
“Madrasah Aliyah Negeri. Kelas 1. Aku tinggal di dekat sekolah. Kamu?”
“Sekolah Menengah Atas Negeri. Sama, aku juga kelas 1. Aku tinggal di dekat pasar. Senang bisa bertemu kamu.
“Oh, begitu! Terima kasih! Aku juga senang bisa bertemu kamu.”
“Boleh aku minta nomor ponselnya?”
“Boleh. Ini,” jawabku sambil menyodorkan ponsel ke tangannya.
Sejak pertemuan di Perpustakaan Daerah, aku merasakan ada yang berbeda. Hari-hari tidak sepi lagi karena sebelumnya teman-teman kelompok sibuk dengan urusan masing-masing. Aku sekarang lebih sering ditemani oleh Restu, dia selalu ada di saat aku butuh, dan memberi solusi untuk masalahku.
****
Hari ini ada yang berbeda, aku merasakan sesuatu hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Biasanya aku tegar menghadapi segala yang di depan mata, tapi sekarang tidak. Ketika dokter menyatakan aku divonis penyakit typus, asma, dan maag, di situ aku baru merasa terpuruk sekali, tapi aku tidak mau dirawat di rumah sakit, aku ingin dirawat di rumah saja.
Berminggu-minggu menahan penyakit yang tak kunjung sembuh, apalagi typus. Aku menangis menahan sakit dalam kesendirian di dalam kamar. Tak ada seorang pun yang menjenguk. Teman-teman kelompokku pun enggan datang ke rumah, sibuk dengan urusan masing-masing. Aku tidak tahu di mana mereka meletakkan janji 4 bulan yang lalu. Hanya ada Restu yang setia menemani, dia menghibur, menjenguk, bahkan terkadang seharian di rumahku.
“Restu! Kenapa teman-temanku tidak ada yang menjenguk? Aku sudah sakit seminggu lebih. Rasanya aku sedih sekali, mereka sudah kuanggap sebagai sahabat baik untuk selamanya, tapi kenapa di saat aku sakit, mereka hilang?”
“Sabar, Nindi! Mungkin mereka sedang ada urusan penting dengan keluarga yang perlu diselesaikan. Kamu ambil pikiran positif saja. Masih ada aku di sini.”
“Terima kasih, Restu! Kamu mau menemani hari-hariku.”
In syaa Allah aku akan selalu ada saat kamu membutuhkan. Ada yang ingin aku ceritakan sama kamu. Berhubung, penyakit kamu mulai sembuh.”
“Memangnya apa?” tanyaku penasaran.
“Besok aku akan pindah ke Jakarta. Aku sekolah di sana.
“Kenapa pindah?”
“Papa dinas di sana. In syaa Allah aku akan selalu menghubungi dan menemani kamu di saat kamu butuh,” jawab Restu sambil menyodorkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku.
Okay! Kamu baik-baik di sana. Kita sahabatan sudah hampir setengah tahun. Kamu jangan sampai seperti mereka.
“Terima kasih, Nindi telah mempercayaiku. Cepat sembuh!”
Aku tersenyum sumringah. Inilah hari terakhirku bertemu dengan Restu, tapi tak mengapa. Raganya memang tidak akan bersamaku lagi, tapi ketulusan hatinya bersahabat  tetap utuh, tidak seperti teman-teman satu kelompok. 
****
            Lama termenung di depan rumah, tiba-tiba bunyi laptop mengejutkan. Akhirnya aku tersadar dari lamunan panjang seputar kejadian 4 tahun silam, di mana catatan keseharian itu ingat di dalam ingatan tentang pahitnya membuat sahabat berkelompok, dan juga tentang manisnya persahabatan bersama Restu yang kini entah di mana keberadaannya. Di layar laptop, tepatnya di facebook, di obrolan tertera tulisan dari Restu Varelio.
“Nindi! Apa kabar? Kapan kita bertemu lagi? Aku sekarang di Bukittinggi. Kita bisa bertemu? Kamu sekarang pasti sudah kuliah dan pastinya tambah cantik.”
Aku lantas terdiam tak bergerak melihat layar laptop, rasanya tak percaya kalau itu adalah Restu. Sejak beberapa tahun terakhir, aku tidak sering lagi berkomunikasi dengannya,. Sibuk dengan kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah, begitu pun Restu. Kini, dipertemukan kembali dengannya.
             Siang itu, aku bergegas menuju Taman Kota untuk bertemu dengan Restu, rasanya tidak sabar lagi ingin bertemu dengan sahabat yang sudah lama menghilang untuk menuntut ilmu.
“Kamu Nindi? Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu,” ujar seseorang mengejutkanku dari belakang.
“Restu! Alhamdulillah, baik. Betul sekali. Biasanya dulu kamu yang selalu menghapus air mataku ketika sedih dan menemaniku ketika sakit. Kamu masih ingat ketika aku sakit? Hanya kamu di sampingku, teman-temanku tidak peduli.”
“Di mana mereka sekarang?”
“Aku juga tidak tahu. Mungkin sudah sukses, mana ingat samaku. Kini aku sadar, bersahabat itu tidak perlu banyak, cukup satu atau dua, tapi dia mengerti dengan kita.”
“Semakin saja kamu sekarang, Nindi. Oh iya, sebentar lagi aku menikah. Mama menjodohkanku dengan anak temannya.”
“Selamat, ya! Berarti sebentar lagi jadi suami? Terus, pekerjaan kamu apa?”
“Iya Nindi. Ya, begitulah! Aku bekerja di kantor papa. Kamu kuliah baik-baik! Jaga diri! Ingat pesanku. Kamu akan tetap jadi sahabatku selamanya, meskipun aku sudah menikah nantinya,” ucap Restu.
Baik. In syaa Allah aku datang di acara pernikahanmu nanti. Tentunya sahabat untuk selamanya,” jawabku tersenyum.
Hari itu menjadi hari paling berkesan. Restu jauh-jauh datang dari Jakarta ke Bukittinggi hanya untuk bertemu denganku dan mengundang untuk datang di acara pernikahannya. Begitu berharga aku di depan matanya, padahal sekarang dia sudah menjadi orang besarmemimpin sebuah perusahaan ternama.
            Catatan empat tahun silam selalu ingat di benak. Sahabat baik seumur hidup. Mengenal baik siapa aku, peduli terhadapku, ada di saat aku sedih dan sakit, bahkan sebentar lagi akan membina rumah tangga dengan kekasihnya. Aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya.
              Sepulang dari Taman Kota, tak sengaja aku melihat seseorang sedang jatuh dari motor. Aku membawanya ke trotoar, lalu mengobati lukanya.
“Terima kasih telah membantu. Maukah engkau menjadi sahabatku?”
“Sama-sama! Dengan senang hati aku mau menjadi sahabatmu,” jawabku tersenyum.

Cerita ini telah dibukukan dalam Antologi buku bersama “Sahabat, Bersamamu Aku Bisa”. Buku bisa didapatkan di Penerbit FAM Publishing, Kediri, Jawa Timur.


Ilustrasi gambar dari : https://www.google.com/search?client=firefox-a&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&tbm=isch&sa=1&ei=fklpWoqeIIzYvgTJn5-QBA&q=gambar+lai+dan+perempuan+sahabat+kartun&oq=gambar+lai+dan+perempuan+sahabat+kartun&gs_l=psy-ab.3...28062.37018.0.37545.40.37.3.0.0.0.142.3649.17j20.37.0....0...1c.1.64.psy-ab..0.23.2322...0j0i10k1j0i67k1j0i8i30k1j0i13k1j0i8i13i30k1j0i13i30k1.0.gqmKfoyRQL4

No comments:

Post a Comment