“CATATAN EMPAT TAHUN SILAM”
Oleh: Rahmi Intan
Tak terasa aku
telah menamatkan Sekolah Menengah Atas Negeri tahun ini dengan hasil memuaskan,
meninggalkan masa bersama teman-teman sebaya, dan kini siap untuk melanjutkan
ke jenjang yang lebih tinggi dan serius. Dulu, belajar malas-malasan, sekarang
sudah tidak diterapkan lagi, harus mengendalikan diri, dan paling utama belajar menjadi
manusia yang bertanggung jawab serta bisa membahagiakan kedua orangtua.
Berbagai alasan
yang dilontarkan teman-temanku mengenai tempat kuliah yang didambakan
masing-masing. Sesekali mereka bertanya padaku tentang tempat kuliah yang bagus
dan berkualitas.
“Tempat kuliah
yang bagus di mana?”
“Aku tidak
tahu. Universitas Indonesia kali!”
“Ehh.. Institut
Teknologi Bandung juga bagus kata orang.”
“Aduh! Kalian
ini, memangnya kita harus kuliah jauh-jauh? Di daerah kita masih ada tempat
kuliah berkualitas, agamanya kuat lagi,” selaku.
“Memangnya di
mana?” tanya mereka, heran.
“Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri.”
“Yang di
Bukittinggi itu?”
“Tepat sekali,”
ucapku tersenyum.
Mereka semua
terdiam, ada juga yang bengong dan ada yang berpikir-pikir. Entah apa yang
dipikirkan, aku juga tidak tahu, yang jelas sepertinya mereka mencerna
perkataanku tadi, dan mungkin sebentar lagi akan menelannya, aku hanya
tersenyum hangat.
****
Pagi
itu, aku duduk di depan rumah sendirian, di tengah kicauan burung bernyanyi
merdu, seakan ingin kumengiringinya. Tiba-tiba saja ingatanku mundur ke
belakang, 4 tahun yang silam. Aku ingat pada seseorang yang baik hati, peduli,
dan selalu setia bersama.
Ketika
itu, aku baru menamatkan Madrasah Tsanawiyah Negeri, lalu melanjutkan ke
Madrasah Aliyah Negeri. Di sekolah inilah, aku menemukan teman-teman baruku,
teman-teman yang sepertinya bisa asyik diajak bercanda, bercerita-cerita,
bahkan mungkin bisa diajak untuk bersedih, itulah pikiranku pertama kali
bertemu dengan mereka. Rasanya ada suasana baru yang akan timbul, entah suasana
apa itu. Bagai sebuah
misteri.
Kami
saling memperkenalkan diri masing-masing, bahkan akan berencana membuat sebuah
kelompok yang hanya beranggotakan kami berenam saja. Saking senang yang
melonjak tinggi, kami semua pada akhirnya membuat kelompok yang diberi nama
Lighty. Banyak yang bertanya-tanya mengenai nama kelompok kami.
Lighty. Banyak yang bertanya-tanya mengenai nama kelompok kami.
“Lighty itu apa?”
“Ingin tahu?
Cari saja sendiri,” jawab temanku.
“Ini serius.
Aku tanya baik-baik!”
“Iya, aku tadi
bercanda. Lighty itu artinya Bercahaya.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya
adalah kami ini baru bertemu, lalu membuat kelompok untuk memulai persahabatan
baru yang bercahaya. Makanya kami
sebut dengan nama Lighty.”
“Bukannya
membuat kelompok itu tidak boleh? Kita di sini semuanya sama.”
“Hhmm.. Kamu sudah siap bertanya? Aku mau
pergi.”
Itulah jawaban
teman-temanku seputar kelompok yang kami buat bersama-sama. Kadang raut muka
kesal tampak di wajah mereka yang bertanya, namun teman-teman tetap tidak
menghiraukan.
Di
sela-sela kesibukan sekolah, bahkan juga kegiatan di luar sekolah, ternyata ada
juga yang mau kenalan denganku. Seorang laki-laki dengan badan tinggi semampai,
wajahnya terlihat tampan, dia bersekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri, beda
dengan sekolahku. Aku bertemu dengannya di Perpustakaan Daerah, sempat
bercerita panjang lebar juga dengannya.
“Nama kamu
siapa?” tanyanya.
“Nindi. Kamu?”
“Restu. Sekolah
di mana? Kelas berapa? Tinggal di mana?”
“Madrasah
Aliyah Negeri. Kelas 1. Aku tinggal di dekat sekolah. Kamu?”
“Sekolah
Menengah Atas Negeri. Sama, aku juga kelas 1. Aku tinggal di dekat pasar.
Senang bisa bertemu kamu.”
“Oh, begitu!
Terima kasih! Aku juga senang bisa bertemu kamu.”
“Boleh aku
minta nomor ponselnya?”
“Boleh. Ini,” jawabku
sambil menyodorkan ponsel ke tangannya.
Sejak pertemuan
di Perpustakaan Daerah, aku merasakan ada yang berbeda. Hari-hari tidak sepi
lagi karena
sebelumnya teman-teman kelompok sibuk dengan urusan masing-masing. Aku sekarang
lebih sering ditemani oleh Restu, dia selalu ada di saat aku butuh, dan memberi
solusi untuk masalahku.
****
Hari ini ada
yang berbeda, aku merasakan sesuatu hal yang tidak pernah aku bayangkan
sebelumnya. Biasanya aku tegar menghadapi segala yang di depan mata, tapi
sekarang tidak. Ketika dokter menyatakan aku divonis penyakit typus, asma, dan
maag, di situ aku baru merasa terpuruk sekali, tapi aku tidak mau dirawat di
rumah sakit, aku ingin
dirawat di
rumah saja.
Berminggu-minggu
menahan penyakit yang tak kunjung sembuh, apalagi typus. Aku menangis menahan
sakit dalam kesendirian di dalam kamar. Tak ada seorang pun yang menjenguk. Teman-teman kelompokku
pun enggan datang ke rumah, sibuk dengan urusan masing-masing. Aku tidak tahu
di mana mereka meletakkan janji 4 bulan yang lalu. Hanya ada Restu yang setia
menemani, dia menghibur, menjenguk, bahkan terkadang seharian di rumahku.
“Restu! Kenapa
teman-temanku tidak ada yang menjenguk? Aku sudah sakit seminggu lebih. Rasanya
aku sedih sekali, mereka sudah kuanggap sebagai sahabat baik untuk selamanya,
tapi kenapa di saat aku sakit, mereka hilang?”
“Sabar, Nindi!
Mungkin mereka sedang ada urusan penting dengan keluarga yang perlu
diselesaikan. Kamu ambil pikiran positif saja. Masih ada aku di sini.”
“Terima kasih,
Restu! Kamu mau menemani hari-hariku.”
“In syaa Allah aku akan selalu ada saat kamu
membutuhkan. Ada yang
ingin aku ceritakan sama kamu. Berhubung, penyakit kamu mulai sembuh.”
“Memangnya
apa?” tanyaku penasaran.
“Besok aku akan pindah
ke Jakarta. Aku sekolah
di sana.”
“Kenapa
pindah?”
“Papa dinas di sana. In syaa Allah aku akan selalu
menghubungi dan menemani kamu di saat kamu butuh,” jawab Restu sambil
menyodorkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku.
“Okay! Kamu baik-baik di sana. Kita
sahabatan sudah hampir setengah tahun. Kamu jangan
sampai seperti mereka.”
“Terima kasih, Nindi telah
mempercayaiku. Cepat sembuh!”
Aku tersenyum
sumringah.
Inilah hari
terakhirku bertemu dengan Restu, tapi tak mengapa. Raganya memang tidak akan
bersamaku lagi, tapi ketulusan hatinya bersahabat tetap utuh, tidak seperti teman-teman satu kelompok.
****
Lama
termenung di depan rumah, tiba-tiba bunyi laptop mengejutkan. Akhirnya aku
tersadar dari lamunan panjang seputar kejadian 4 tahun silam, di mana catatan
keseharian itu ingat di dalam ingatan tentang pahitnya membuat sahabat
berkelompok, dan juga tentang manisnya persahabatan bersama Restu yang kini
entah di mana keberadaannya. Di layar laptop, tepatnya di facebook, di obrolan tertera tulisan dari Restu Varelio.
“Nindi! Apa
kabar? Kapan kita bertemu lagi? Aku sekarang di Bukittinggi. Kita bisa bertemu? Kamu sekarang
pasti sudah kuliah dan pastinya tambah cantik.”
Aku lantas
terdiam tak bergerak melihat layar laptop, rasanya tak percaya kalau itu adalah
Restu. Sejak beberapa tahun terakhir, aku tidak sering lagi berkomunikasi
dengannya,. Sibuk dengan
kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah, begitu pun Restu. Kini, dipertemukan kembali dengannya.
Siang itu, aku bergegas menuju Taman Kota
untuk bertemu dengan Restu, rasanya tidak sabar lagi ingin bertemu dengan
sahabat yang sudah lama menghilang untuk menuntut ilmu.
“Kamu Nindi?
Apa kabar? Sudah lama
tidak bertemu,”
ujar seseorang mengejutkanku dari belakang.
“Restu! Alhamdulillah, baik. Betul
sekali. Biasanya dulu kamu yang selalu menghapus air mataku
ketika sedih dan menemaniku ketika sakit. Kamu masih ingat ketika aku sakit?
Hanya kamu di sampingku, teman-temanku tidak peduli.”
“Di mana mereka
sekarang?”
“Aku juga tidak
tahu. Mungkin sudah sukses, mana ingat samaku. Kini aku sadar, bersahabat itu tidak perlu banyak,
cukup satu atau dua, tapi dia mengerti dengan kita.”
“Semakin saja
kamu sekarang, Nindi. Oh iya, sebentar lagi aku menikah. Mama menjodohkanku
dengan anak temannya.”
“Selamat, ya!
Berarti sebentar lagi jadi suami? Terus, pekerjaan kamu apa?”
“Iya Nindi. Ya,
begitulah! Aku bekerja di kantor papa. Kamu kuliah baik-baik! Jaga diri! Ingat
pesanku. Kamu akan tetap
jadi sahabatku selamanya, meskipun aku sudah menikah nantinya,” ucap Restu.
“Baik. In syaa Allah aku datang di
acara pernikahanmu nanti.
Tentunya sahabat untuk selamanya,” jawabku tersenyum.
Hari itu
menjadi hari paling berkesan.
Restu jauh-jauh
datang dari Jakarta ke Bukittinggi hanya untuk
bertemu denganku dan mengundang untuk datang di acara pernikahannya. Begitu
berharga
aku di depan
matanya, padahal sekarang dia sudah menjadi orang besar—memimpin sebuah
perusahaan ternama.
Catatan
empat tahun silam
selalu ingat di benak.
Sahabat baik seumur hidup.
Mengenal baik siapa aku, peduli terhadapku, ada di saat aku sedih dan sakit,
bahkan sebentar lagi akan membina rumah tangga dengan kekasihnya. Aku selalu
mendoakan yang terbaik untuknya.
Sepulang dari Taman Kota, tak sengaja aku
melihat seseorang sedang jatuh dari motor. Aku membawanya ke trotoar, lalu
mengobati lukanya.
“Terima kasih telah membantu.
Maukah engkau menjadi
sahabatku?”
“Sama-sama!
Dengan senang hati aku mau menjadi sahabatmu,” jawabku tersenyum.
Cerita
ini telah dibukukan dalam Antologi buku bersama “Sahabat, Bersamamu Aku Bisa”.
Buku bisa didapatkan di Penerbit FAM Publishing, Kediri, Jawa Timur.
Ilustrasi gambar
dari : https://www.google.com/search?client=firefox-a&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&tbm=isch&sa=1&ei=fklpWoqeIIzYvgTJn5-QBA&q=gambar+lai+dan+perempuan+sahabat+kartun&oq=gambar+lai+dan+perempuan+sahabat+kartun&gs_l=psy-ab.3...28062.37018.0.37545.40.37.3.0.0.0.142.3649.17j20.37.0....0...1c.1.64.psy-ab..0.23.2322...0j0i10k1j0i67k1j0i8i30k1j0i13k1j0i8i13i30k1j0i13i30k1.0.gqmKfoyRQL4
No comments:
Post a Comment