“KALA AIR
MATA MENJADI MUTIARA”
Oleh : Rahmi Intan
Mutiara berkilauan menyinari,
seperti sang fajar menyambut pagi. Sebuah harapan besar dari air mata
perjuangan akan meraih aspirasi dengan kobaran semangat membara, kelak akan
dinikmati oleh orang banyak. Kepentingan untuk diri sendiri, orang tua, dan
juga khalayak ramai.
Pagi itu, kulangkahkan kaki menuju
tempatku menimba ilmu sejak satu tahun terakhir ini. Sebuah kobaran semangat
nampak di wajahku
dengan senyuman manis, meskipun hanya dengan berjalan kaki menuju kampus. Tak
penting dengan sebuah kendaraan motor, hanya akan menambah polusi udara. Kalau
kaki mampu menjadi kendaraan, kenapa tidak?
Teriakan dari sudut lokal terdengar
memanggil namaku.
“Afila!
Ayo.. Ke sini! Kamu adalah orang kedua datang setelah aku.”
Benar
saja, temanku, Ratu. Ternyata telah duduk di dalam sudut lokal, dia memang anak
rajin, tapi aku juga tak kalah darinya. “Aku tidak terlambat, kan?”
Sebuah
senyuman manis dia lemparkan kepadaku, aku juga membalasnya dengan senyuman
manis dari bibirku. Bukankah sebuah senyuman adalah ibadah? Kalau senyuman
adalah ibadah, semampu kita, ya, tersenyum, tapi jangan tersenyum selalu, nanti
disangka gila.
Sebentar lagi, pagi akan berganti menjadi
siang, terik matahari sangat mencekam. Sesekali aku pegang buku dan kukipaskan
ke arahku, keringat sedikit mengucur di dahiku, namun pelajaran belum usai, yang
namanya perjuangan ya, begini. Panas hari pun tak menjadi halangan, aku tetap
khidmat memperhatikan pelajarannya. Beberapa menit setelah itu, mata kuliah Student Guide PC berakhir, setelah tadi
pagi belajar bahasa pemograman C++, membuat badan terasa lelah.
“Pelajaran
hari ini telah usai! Senin besok kita lanjutkan kembali, silahkan dicatat soal
di depan! Kalian cari di
internet,
senin besok dikumpulkan. Jangan lupa! Assalamu’alaikum!”
“Walaikumussalam!”
Usai
dosen berlalu dari hadapan, lokal yang kutempati ribut seperti pasar. Berjalan ke
sana-sini, mencatat soal dipapan tulis, ada yang berjalan menuju parkiran
kampus, dan selebihnya.
“Aku
mau pulang dulu.”
“Aku
di sini saja, menikmati wi-fi gratis!”
Yang
lainnya menjawab, “Tugas jangan lupa! Jangan main facebook dan twitter melulu!
Nanti tidak dapat gelar sarjana kamu.”
“Iya,
iya. Bawel ahh! Aku tahu
itu, prioritas terpenting itu taat beribadah,
membahagiakan
orang tua, lalu mengejar impian,
dan juga meraih cita-cita mulia.”
Pikiranku sempat melayang mundur ke
belakang mendengar ucapan temanku tentang prioritas terpenting itu taat
beribadah, membahagiakan
orang tua, lalu mengejar impian,
dan juga meraih cita-cita mulia. Aku ingat, ketika aku masih MTsN dulu,
cita-citaku ingin menjadi guru teladan. Beranjak ke MAN, cita-citaku berubah
ingin menjadi seorang dokter hebat, menangani pasien dengan bijaksana dan ramah.
Ayahku hanya menjawab dengan singkat dan padat.
“Afila!
Shalat dan sekolah yang paling utama sekarang.”
Aku
hanya menganggukkan kepala mendengarnya, menurut kata ayahku.
Pernah suatu ketika, setelah aku
lulus, keinginan untuk kuliah sangatlah tinggi dengan niat ingin menegakkan
jati diriku dari cemoohan orang-orang di sekitar, lantaran ayahku hanya orang
kurang mampu. Malang nian nasib, kuliah yang aku impikan dan dambakan pada saat
itu tidak tercapai, karena uang ayahku tidak mencukupi.
Deraian air mata kubiarkan mengalir
membasahi pipi, denyutan kepala terasa sakit sekali seakan semua sel darah di seluruh tubuh mengalir
menuju sel otak—membuatku tak berdaya. Pandangan
iba terlihat di wajah ayah ketika memandangiku.
“Sudahlah!
Jangan dipikirkan,
Nak! Kita kuliah tahun depan, in syaa
Allah.”
Kepala
kuanggukkan. Pancaran
sinar dari wajahku terlihat kembali setelah Ayah
menenangkanku. Sedikit demi sedikit aku bangkit dari keterpurukan, hingga bisa
normal kembali seperti sediakala. Akhirnya aku juga bisa kuliah tahun depan,
seperti sekarang ini. Dalam
lamunan, Ratu mengejutkanku. Ternyata dari tadi dia telah menepuk pundakku
beberapa kali, tapi aku tetap dalam lamunan panjang mengingat kejadian pada
waktu itu.
“Kamu
memikirkan apa? Dari tadi aku perhatikan, melamun terus. Ada masalah?”
“Oh,
tidak! Aku tidak apa-apa. Ayo.. Kita pulang!”
Kami
beranjak dari lokal, lalu melangkahkan kaki menuju kos masing-masing, setelah
selesai menimba ilmu di kampus yang terlihat mewah dengan ajaran agama yang
kuat.
Mimpi memang bunga dari kehidupan,
bunga akan berkembang jika disiram dengan air setiap hari. Begitu juga impian,
tentu dukungan dan dorongan dari orang tua, lalu usaha yang kulakukan setiap
harinya menjadi sebuah andalan untuk mencapai kesuksesan.
Ayahku selalu risau jika tidak
menghubungiku, sebagai seorang anak perempuan, tentu Ayah selalu menanyakan
keadaanku, begitu juga menanyakan keinginannya. Jarak memang bukan suatu
penghalang untuk berkomunikasi, ayahku memang tidak terlalu kuno dengan media
sosial, bermain facebook dan internet lewat ponselnya.
Malam itu terdengar percakapanku
dengan ayah melalui ponsel, kulekatkan headseat
ke telingaku supaya suaranya terdengar jelas.
“Bagaimana
keadaan kamu, Nak? Apa sehat-sehat saja?”
“Alhamdulillah! Sehat, Yah! Ayah sendiri
bagaimana? Perkerjaan ayah sekarang bagaimana?”
“Alhamdulillah! Sehat juga. Pekerjaan
ayah sekarang cocok dengan kemampuan ayah, Nak. Jadi, tidak masalah! Jangan
terlalu dipikirkan!
Oh iya, kamu sekarang sudah mulai menulis atau belum?”
Pertanyaan
ayah membuatku terdiam sejenak. Ayah dari dulu memang ingin sekali aku untuk
berusaha menulis sebuah cerpen dan puisi. Aku memang tidak terlalu hobi menulis,
karena impianku adalah menjadi seorang musisi dengan banyak ciptaan lagu.
Tiba-tiba ponselku mati karena habis
baterai, aku lupa mengisinya tadi siang. Percakapanku terputus dengan ayah.
Pertanyaan ayah yang belum terjawab olehku, masih kupikirkan sampai tidur
menjelang. Tak sadar, ternyata aku telah terlelap hingga sang fajar menyonsong
dengan sendirinya, sebuah ciptaan Allah S.W.T.
Perkataan ayah tadi malam
membangkitkanku sepulang menuntut ilmu dari kampus. Aku mencari laptop di lemari. Pertama kali yang aku
cari ketika laptop hidup adalah microsoft
word. Siang itu terdengar kembali percakapanku dengan ayah.
“Yah!
Setelah Afila pikir-pikir, pendapat ayah ada benarnya juga. Afila akan mencoba
menulis seperti yang ayah inginkan.”
“Alhamdulilah! Tujuan ayah menyuruh kamu,
supaya nantinya ketika membuat skripsi kamu tidak kesusahan, karena telah
dilatih dengan kebiasaan menulis, meskipun hanya menulis cerpen dan puisi. Selamat
berjuang, Nak!”
“Terima
kasih, Yah!”
Sejak
saat itu, aku aktif di dunia tulis menulis, meskipun jurusanku bukan sastra dan
belum semahir para senior-senior yang telah populer di kalangan orang banyak. Namanya berusaha pasti dari nol dulu,
baru sedikit demi sedikit menjadi seratus. Kini baru kusadari, sebuah impian itu
tidak hanya satu untuk diraih, sebisa mungkin raih semuanya. Ingat! Kerjakan sesuai
dengan kemampuan, asal jangan terlalu berkhayal yang tinggi.
Dulu aku berpikir, dokter dan musisi
adalah impian dan cita-citaku. Ternyata tidak! Masih banyak impian dan
cita-cita lain yang bisa kuraih dengan ekonomi yang pas-pasan. Perkataan yang
dilontarkan ayah selalu ingat olehku, meskipun hanya sedikit-sedikit.
“Lebih baik kita melakukan semua
pekerjaan dan berguna untuk orang banyak walaupun hanya bisa, daripada melakukan satu pekerjaan saja
hanya
dengan mampu.”
Biarkan
suatu saat waktu yang akan menjawab impian dan cita-citaku. Sebuah air mata
perjuangan dari orang kurang mampu menjadi sebuah mutiara yang bersinar terang
menuju kesuksesan dan kejayaan hidup, tidak hanya di dunia, tapi di akhirat
kelak.
Kala
air mata menjadi mutiara, semua akan bisa diraih demi kemaslahatan orang
banyak. Meskipun tidak bisa menduduki kursi di dalam istana, setidaknya bisa membuat
gedung untuk orang awam.
Cerpen ini terpilih sebagai 45 nominator pada Penerbit FPBN tahun 2014.
Ilustrasi gambar dari : https://www.google.com/search?client=firefox-a&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&tbm=isch&sa=1&ei=kz1pWpKTBcHcvgTz4IrABw&q=gambar+Kala+Air+Mata+Menjadi+Mutiara+&oq=gambar+Kala+Air+Mata+Menjadi+Mutiara+&gs_l=psy-ab.3...6224.6224.0.9471.1.1.0.0.0.0.103.103.0j1.1.0....0...1c.1.64.psy-ab..0.0.0....0.Yu7Nv3-gAqo
No comments:
Post a Comment