Sebuah Pernyataan
Oleh : Rahmi Intan
Empat bulan ia habiskan waktu untuk mengikuti
lati-han bernyanyi. Di samping kesibukan kerja. Baru dua minggu lalu ia
diterima kerja setelah wisuda. Lama sekali ia ingin berjumpa kedua sahabat
lama, terpisah perguruan tinggi berbeda. Perpisahan terakhir mereka diwarnai
de-ngan coret baju, sebagian baju lain disumbangkan ke panti asuhan. Sejak itu
tak ada kabar lagi.
Biasanya mereka saling menyurati satu sama lain.
Dua tahun belakangan hilang seperti ditelan bumi. Pertanyaan demi pertanyaan
membumbung di benak. Jawaban tak jua didapat. Bersabar adalah hal yang mesti
diikhlaskan. Sampai suatu saat kabar menghampiri.
Sore itu, seperti biasa ia latihan di studio
muser. Lang-kah kaki mengejutkannya dari balik pintu. Masuklah sese-orang
dengan gaya seadanya. Awalnya ia berpikir laki-laki itu teman dari personil
band di studio itu, dan akan menghampiri mereka. Perlahan-lahan laki-laki itu
mendekat kepadanya.
“Rean?”
“Ya.. Naldo bagaimana
kabarnya?”
“Sudah
dua tahun aku tak berkomunikasi dengannya.”
Takdir
akhirnya memertemukan Talisa dan Rean kem-bali. Sempat sebelumnya tak ada
harapan lagi untuk bersua. Percakapan mereka dibumbui saling mengingat
masalalu. Sebuah kafe yang lumayan besar dan unik adalah tempat di mana Talisa,
Rean, dan Naldo menghabisakan waktu santai. Hari ini hanya Talisa dan Rean yang
tengah bercakap-cakap di sana.
“Pekerjaanmu apa
sekarang, Rean?”
“Sejak
kita bersama terakhir kali, aku tak melanjutkan ke perguruan tinggi. Sesekali
aku manggung di kafe, cukup untuk lepas makan saja.”
“Sampai
sekarang pun, kamu masih manggung di kafe sama anak bandmu?”
“Jarang.
Aku sekarang kerja paruh waktu. Memang susah di zaman sekarang, aku pun sedikit
kewalahan jika tak bekerja walau sehari.”
“Kamu,
kan belum punya istri. Kenapa mesti pusing?”
“Kekasih
dan istriku cuma satu, Tuhan yang memberikan suatu saat. Bapakku sudah dua
tahun belakangan sakit-sakitan,” jawab Rean. Sedikit iba hati.
“Kamunya
berusaha. Semoga bapakmu cepat sembuh!”
Tiba-tiba saja omongan mereka terputus oleh
seseorang. Talisa dan Rean tercengang. Sesekali Talisa melempar pan-dangan ke
arah Rean, namun Rean juga kebingungan. Sepertinya Talisa dan Rean mempunyai
pikiran yang sama tentang sosok yang berdiri di hadapan
mereka.
“Mau pesan apa nak Naldo?” tanya pelayan dari
ke-jauhan.
Semakin terjawablah rasa penasaran mereka. Benar
saja, pikiran mereka yang sama bahwasannya laki-laki ini adalah sahabat lama
mereka, Naldo. Naldo yang tadinya sempat kebingungan juga, akhirnya mengetahui
kalau keduanya yang duduk adalah Talisa dan Rean.
“Lama tak bertemu,
Naldo?” ucap Talisa.
Naldo tersenyum senang. Naldo dan Rean
berpelukan, saling menepuk lengan. Jari tangan mereka bergerak mengikuti
yel-yel ketika sekolah menengah pertama dulu. Terpecahlah keheningan di kafe
itu dengan ledakan tawa mereka bertiga.
“Kerjamu apa sekarang, Naldo?” tanya Rean sambil
melumat makanan di mulut.
“Dokter. Kamu Rean?”
“Hanya kerja paruh
waktu. Pindah sana-sini!”
“Kamu, Talisa?”
“Oh, aku? Aku kerja di kantor bagian keuangan,
juga menyanyi di kafe kalau lagi goodmood.”
Hobi Talisa dan Rean memang sama, ditambah lagi
Rean memiliki rasa suka pada Talisa sejak sekolah menengah pertama. Hanya saja
Talisa tak mengetahui, begitu pula Naldo.
****
Seiring waktu bergulir, tak terasa satu tahun
berlalu, ia dan kedua rekannya telah bersama kembali seperti sedia-kala. Namun
ada sedikit yang berbeda, Rean terus merasa cemburu pada Naldo dikarenakan
Talisa sering berkunjung ke rumah sakit, melihat aktifitas
Naldo. Rean terus berpikir karena Naldo lebih kaya, makanya Talisa selalu ingin
dekat. Rean memutuskan secara diam-diam meng-umpulkan uang dan ingin menandingi
kekayaan Naldo.
Terwujudlah keinginan Rean. Rean bersabar selama
se-tahun untuk menandingi Naldo. Ia sama sekali tak mengetahui apa yang
diniatkan Rean untuknya. Tiba-tiba saja Rean menjadi sangat populer, punya
mobil mewah, dan jauh lebih kaya dibanding Naldo yang hanya berprofesi sebagai
dokter spesialis bedah jantung.
Suatu hari Rean mengungkapkan isi hati
kepadanya, bahwasannya Rean telah menyukainya sejak sekolah me-nengah pertama.
Lantas menjadikannya tercengang. Kaki dan tangannya gemetaran, tak tahu harus
menjawab apa. Secara lahir dan batin ia tak menyukai Rean, ia mengang-gap Rean
sahabatnya sedari dulu. Nampaknya Rean salah tanggap.
“Dulu, aku bukan orang kaya. Mungkin kamu takkan
menerimaku, tapi sekarang aku sudah kaya. Berarti aku sudah boleh menjadi lebih
dari sahabat untukmu?” ujar Rean. Berdiri di hadapannya di gerbang rumah sakit.
“Peraturan dari mana?”
“Bukankah Naldo lebih kaya dulunya, kamu selalu
ingin di dekatnya.”
“Itukah pikiranmu selama
ini, Rean?”
“Aku tak suka melihat kamu dengan Naldo lebih
sering bersama, kalian lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Padahal kamu tak
begitu menyukai bau obat-obatan di rumah sakit. Makanya sekarang giliranku
mengajakmu ke rekamanku. Bukankah itu hobimu?”
“Aku dan Naldo tak ada
hubungan apa-apa. Kamu tak perlu merubah dirimu karena ini,
dan tak perlu repot-repot mengajakku ke rekamanmu. Sungguh! Aku tak tertarik.
Ada banyak hal yang tidak aku sukai dari dirimu sekarang,” ketusnya, berlalu.
Tak lama setelah ia berjalan sepuluh meter. Tak
sengaja badannya ditabrak, nyaris ambruk. Dilihatnyalah Naldo tak berseragam
dokter seperti biasa. Dia bertanya. Lama diam. Naldo menjawab kalau ia dipecat
disebabkan kecelakaan medis yang merenggut nyawa dua pasien sekaligus. Ditambah
lagi Naldo satu-satunya dokter yang menentang keras kerja lamban dokter lain,
dan Naldo juga tak menyetujui kompetisi sesama dokter untuk menduduki posisi
direktur kelak. Membuat rekan dan atasan muak terhadapnya. Tepatlah waktu bagi
mereka sekarang tak akan melihat Naldo di rumah sakit ini lagi, bahkan di rumah
sakit lain.
Rean mendengar kabar itu sedikit tertawa
terpingkal-pingkal. Kini Rean telah menang, akan lebih mudah mem-buatnya
menyukai Rean. Kenyataan tak semudah harapan, tak semulus khayalan, jutru ia
semakin jauh dari Rean. Ia tak ingin menyakiti hati kedua sahabatnya itu.
Sejak sekolah menengah pertama, ia sudah menaruh
hati pada Naldo. Berhubung usianya masih dini, ia menunggu Naldo. Setiap hari
Naldolah yang ada di pikirannya. Surat dan email yang tak dibalas terkadang
menjadikannya sedih, takut Naldo berpindah ke yang lain. Naldo jadi dokter pun
ia tak menghiraukan, baginya kebersamaan. Kalau pun Naldo tak jadi dokter
sekalipun seperti sekarang, ia masih tetap ingin bersama. Sedalam-dalam bangkai
di kubur, akan tercium jua baunya. Rean mengetahui itu.
“Aku salah telah merayumu dengan harta. Hari ini
aku tersadar, bukan harta yang kamu inginkan. Aku juga tulus,
bahkan lebih dari Naldo,” ucap Rean. Sore itu.
“Tak
apa-apa. Hari ini aku akan berangkat ke luar kota, tuntutan kerjaku,” jawabnya,
berlalu.
Rean
masih terdiam tegak berdiri tak berkutik. Sebelum Rean mengungkapkan isi
hatinya, jauh hari Naldo sudah mengungkapkan. Ia memiliki perasaan yang sama
dengan Naldo. Tidak untuk Rean, meski Rean mati-matian berubah kembali seperti
dulu.
Pesawat
yang ditumpanginya hampir sampai di tujuan, tinggal beberapa jam lagi. Awan
menyelimuti pemanda-ngan pesawat, dan pesawat lain tidak sengaja menabrak
pesawat yang ditumpanginya, hingga jatuh ke dalam laut. Arwahnya melihat
raganya tak bernyawa lagi.
Aku bisa saja menyukai siapapun, namun cinta
yang ingin kumiliki hanya satu. Walau dua orang terbaik menaruh hati padaku,
tapi hatiku pasti memilih salah seorang. Meskipun tidak adil untuk yang lain.
Kamulah orang itu, Naldo. Seseorang yang akan menjadi imamku kelak. Perasaanku
tak pernah berubah sejak awal kita berjumpa.
Naldo menggas motor menuju tempat pesawat jatuh.
Separuh hati Naldo kali ini terkoyak. Ingin melihat jazadnya. Lambaian arwah
tangannya mengantarkan ia ke tempat sesungguhnya—tempat perhentian terakhirnya.
Sebab bagaimanapun mengembalikan, tidak akan bisa.
Bukittinggi, 2015
Ilustrasi gambar dari https://id.wikihow.com/Menuliskan-sebuah-Pernyataan-Seniman
Bisa Req cerpen ga ?
ReplyDelete