Breaking

Selamat datang di blog Rahmi Intan. Blog ini mengenai seputar karya-karya Rahmi Intan

Saturday, February 17, 2018

Sebuah Pernyataan (Cerpen Remaja)



Sebuah Pernyataan
Oleh : Rahmi Intan

Empat bulan ia habiskan waktu untuk mengikuti lati-han bernyanyi. Di samping kesibukan kerja. Baru dua minggu lalu ia diterima kerja setelah wisuda. Lama sekali ia ingin berjumpa kedua sahabat lama, terpisah perguruan tinggi berbeda. Perpisahan terakhir mereka diwarnai de-ngan coret baju, sebagian baju lain disumbangkan ke panti asuhan. Sejak itu tak ada kabar lagi.

Biasanya mereka saling menyurati satu sama lain. Dua tahun belakangan hilang seperti ditelan bumi. Pertanyaan demi pertanyaan membumbung di benak. Jawaban tak jua didapat. Bersabar adalah hal yang mesti diikhlaskan. Sampai suatu saat kabar menghampiri.

Sore itu, seperti biasa ia latihan di studio muser. Lang-kah kaki mengejutkannya dari balik pintu. Masuklah sese-orang dengan gaya seadanya. Awalnya ia berpikir laki-laki itu teman dari personil band di studio itu, dan akan menghampiri mereka. Perlahan-lahan laki-laki itu mendekat kepadanya.
“Talisa.. Masih ingat aku? Kita bertiga dulu sering menghibur anak di panti asuhan.”
“Rean?”
“Ya.. Naldo bagaimana kabarnya?”
“Sudah dua tahun aku tak berkomunikasi dengannya.”  
Takdir akhirnya memertemukan Talisa dan Rean kem-bali. Sempat sebelumnya tak ada harapan lagi untuk bersua. Percakapan mereka dibumbui saling mengingat masalalu. Sebuah kafe yang lumayan besar dan unik adalah tempat di mana Talisa, Rean, dan Naldo menghabisakan waktu santai. Hari ini hanya Talisa dan Rean yang tengah bercakap-cakap di sana.

“Pekerjaanmu apa sekarang, Rean?”

“Sejak kita bersama terakhir kali, aku tak melanjutkan ke perguruan tinggi. Sesekali aku manggung di kafe, cukup untuk lepas makan saja.”
“Sampai sekarang pun, kamu masih manggung di kafe sama anak bandmu?”
“Jarang. Aku sekarang kerja paruh waktu. Memang susah di zaman sekarang, aku pun sedikit kewalahan jika tak bekerja walau sehari.”
“Kamu, kan belum punya istri. Kenapa mesti pusing?”
“Kekasih dan istriku cuma satu, Tuhan yang memberikan suatu saat. Bapakku sudah dua tahun belakangan sakit-sakitan,” jawab Rean. Sedikit iba hati.
“Kamunya berusaha. Semoga bapakmu cepat sembuh!”
Tiba-tiba saja omongan mereka terputus oleh seseorang. Talisa dan Rean tercengang. Sesekali Talisa melempar pan-dangan ke arah Rean, namun Rean juga kebingungan. Sepertinya Talisa dan Rean mempunyai pikiran yang sama tentang sosok yang berdiri di hadapan mereka.

“Mau pesan apa nak Naldo?” tanya pelayan dari ke-jauhan.
Semakin terjawablah rasa penasaran mereka. Benar saja, pikiran mereka yang sama bahwasannya laki-laki ini adalah sahabat lama mereka, Naldo. Naldo yang tadinya sempat kebingungan juga, akhirnya mengetahui kalau keduanya yang duduk adalah Talisa dan Rean.
“Lama tak bertemu, Naldo?” ucap Talisa.
Naldo tersenyum senang. Naldo dan Rean berpelukan, saling menepuk lengan. Jari tangan mereka bergerak mengikuti yel-yel ketika sekolah menengah pertama dulu. Terpecahlah keheningan di kafe itu dengan ledakan tawa mereka bertiga.
“Kerjamu apa sekarang, Naldo?” tanya Rean sambil melumat makanan di mulut.
“Dokter. Kamu Rean?”
“Hanya kerja paruh waktu. Pindah sana-sini!”
“Kamu, Talisa?”
“Oh, aku? Aku kerja di kantor bagian keuangan, juga menyanyi di kafe kalau lagi goodmood.”
Hobi Talisa dan Rean memang sama, ditambah lagi Rean memiliki rasa suka pada Talisa sejak sekolah menengah pertama. Hanya saja Talisa tak mengetahui, begitu pula Naldo.

****

Seiring waktu bergulir, tak terasa satu tahun berlalu, ia dan kedua rekannya telah bersama kembali seperti sedia-kala. Namun ada sedikit yang berbeda, Rean terus merasa cemburu pada Naldo dikarenakan Talisa sering berkunjung ke rumah sakit, melihat aktifitas Naldo. Rean terus berpikir karena Naldo lebih kaya, makanya Talisa selalu ingin dekat. Rean memutuskan secara diam-diam meng-umpulkan uang dan ingin menandingi kekayaan Naldo.

Terwujudlah keinginan Rean. Rean bersabar selama se-tahun untuk menandingi Naldo. Ia sama sekali tak mengetahui apa yang diniatkan Rean untuknya. Tiba-tiba saja Rean menjadi sangat populer, punya mobil mewah, dan jauh lebih kaya dibanding Naldo yang hanya berprofesi sebagai dokter spesialis bedah jantung.

Suatu hari Rean mengungkapkan isi hati kepadanya, bahwasannya Rean telah menyukainya sejak sekolah me-nengah pertama. Lantas menjadikannya tercengang. Kaki dan tangannya gemetaran, tak tahu harus menjawab apa. Secara lahir dan batin ia tak menyukai Rean, ia mengang-gap Rean sahabatnya sedari dulu. Nampaknya Rean salah tanggap.

“Dulu, aku bukan orang kaya. Mungkin kamu takkan menerimaku, tapi sekarang aku sudah kaya. Berarti aku sudah boleh menjadi lebih dari sahabat untukmu?” ujar Rean. Berdiri di hadapannya di gerbang rumah sakit.
“Peraturan dari mana?”
“Bukankah Naldo lebih kaya dulunya, kamu selalu ingin di dekatnya.”
“Itukah pikiranmu selama ini, Rean?”
“Aku tak suka melihat kamu dengan Naldo lebih sering bersama, kalian lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Padahal kamu tak begitu menyukai bau obat-obatan di rumah sakit. Makanya sekarang giliranku mengajakmu ke rekamanku. Bukankah itu hobimu?”
“Aku dan Naldo tak ada hubungan apa-apa. Kamu tak perlu merubah dirimu karena ini, dan tak perlu repot-repot mengajakku ke rekamanmu. Sungguh! Aku tak tertarik. Ada banyak hal yang tidak aku sukai dari dirimu sekarang,” ketusnya, berlalu.

Tak lama setelah ia berjalan sepuluh meter. Tak sengaja badannya ditabrak, nyaris ambruk. Dilihatnyalah Naldo tak berseragam dokter seperti biasa. Dia bertanya. Lama diam. Naldo menjawab kalau ia dipecat disebabkan kecelakaan medis yang merenggut nyawa dua pasien sekaligus. Ditambah lagi Naldo satu-satunya dokter yang menentang keras kerja lamban dokter lain, dan Naldo juga tak menyetujui kompetisi sesama dokter untuk menduduki posisi direktur kelak. Membuat rekan dan atasan muak terhadapnya. Tepatlah waktu bagi mereka sekarang tak akan melihat Naldo di rumah sakit ini lagi, bahkan di rumah sakit lain.

Rean mendengar kabar itu sedikit tertawa terpingkal-pingkal. Kini Rean telah menang, akan lebih mudah mem-buatnya menyukai Rean. Kenyataan tak semudah harapan, tak semulus khayalan, jutru ia semakin jauh dari Rean. Ia tak ingin menyakiti hati kedua sahabatnya itu.

Sejak sekolah menengah pertama, ia sudah menaruh hati pada Naldo. Berhubung usianya masih dini, ia menunggu Naldo. Setiap hari Naldolah yang ada di pikirannya. Surat dan email yang tak dibalas terkadang menjadikannya sedih, takut Naldo berpindah ke yang lain. Naldo jadi dokter pun ia tak menghiraukan, baginya kebersamaan. Kalau pun Naldo tak jadi dokter sekalipun seperti sekarang, ia masih tetap ingin bersama. Sedalam-dalam bangkai di kubur, akan tercium jua baunya. Rean mengetahui itu.

“Aku salah telah merayumu dengan harta. Hari ini aku tersadar, bukan harta yang kamu inginkan. Aku juga tulus, bahkan lebih dari Naldo,” ucap Rean. Sore itu.

“Tak apa-apa. Hari ini aku akan berangkat ke luar kota, tuntutan kerjaku,” jawabnya, berlalu.
Rean masih terdiam tegak berdiri tak berkutik. Sebelum Rean mengungkapkan isi hatinya, jauh hari Naldo sudah mengungkapkan. Ia memiliki perasaan yang sama dengan Naldo. Tidak untuk Rean, meski Rean mati-matian berubah kembali seperti dulu.

Pesawat yang ditumpanginya hampir sampai di tujuan, tinggal beberapa jam lagi. Awan menyelimuti pemanda-ngan pesawat, dan pesawat lain tidak sengaja menabrak pesawat yang ditumpanginya, hingga jatuh ke dalam laut. Arwahnya melihat raganya tak bernyawa lagi.

Aku bisa saja menyukai siapapun, namun cinta yang ingin kumiliki hanya satu. Walau dua orang terbaik menaruh hati padaku, tapi hatiku pasti memilih salah seorang. Meskipun tidak adil untuk yang lain. Kamulah orang itu, Naldo. Seseorang yang akan menjadi imamku kelak. Perasaanku tak pernah berubah sejak awal kita berjumpa.

Naldo menggas motor menuju tempat pesawat jatuh. Separuh hati Naldo kali ini terkoyak. Ingin melihat jazadnya. Lambaian arwah tangannya mengantarkan ia ke tempat sesungguhnya—tempat perhentian terakhirnya. Sebab bagaimanapun mengembalikan, tidak akan bisa.


Bukittinggi, 2015

Ilustrasi gambar dari https://id.wikihow.com/Menuliskan-sebuah-Pernyataan-Seniman

1 comment: