“KAUM MARGINAL!”
Oleh: Rahmi Intan
Seperti
biasanya, siang itu, Endo berjalan di trotoar. Ketika lampu merah menyala, kesempatan
Endo untuk mengamen. Dia memetik tali gitarnya yang mulai usang tetapi bunyinya
masih bagus.
“Kak,
aku berangkat dulu. Mudah-mudahan hari ini kita dapat uang banyak, supaya kakak
bisa berobat,” ucap Ando.
“Iya
dek, hati-hati. Kakak selalu mendoakan yang terbaik untuk kita,” jawab Elin.
“Kakak
di rumah saja. Jangan ke mana-mana! Endo takut nanti kakak kenapa-kenapa.”
“Kakak
tidak apa-apa. Hati-hati di jalan!”
“Baik
kak. Assamu’alaikum,” ujar Endo
sambil berjalan keluar dari gubuk kecil yang hanya terbuat dari karton-karton
yang dibentuk seperti rumah.
“Walaikumsalam.”
Keringat bercucuran mengalir di dahi
Endo, tapi dia hanya mendapat sedikit uang. Hanya bisa untuk makan sehari saja.
Endo terdiam duduk di bawah pohon di tepi jalan raya. Endo sedih karena tidak bisa
memberikan uang banyak untuk biaya berobat kakaknya. Endo pulang hanya dengan
membawa dua bungkus nasi, dan membawa sedikit obat.
Malam
itu, kakaknya tampak duduk di depan gubuk kecil menunggu Endo. Dia tidak peduli
meski harus kedinginan di depan gubuk, tapi semangat menunggu Endo tidak pernah
pudar.
“Kakak
sedang apa di sini?”
“Tidak
dek, kakak hanya duduk saja menunggu kamu pulang.”
“Ayo..
Kita masuk, Kak! Aku membawa nasi dan obat untuk kakak,” ucap Endo mengajak
Elin masuk ke gubuk kecil tersebut.
“Baiklah.”
Malam
itu, mereka makan bersama sambil bercanda tawa.
“Makanannya
enak, Ndo. Kakak suka, kamu membeli di mana?”
“Di
warung depan, Kak. Alhamdulillah, kalau
kakak suka.”
“Ya
jelas kakak sukalah, Ndo. Kakak tahu, kamu susah payah mencari uang untuk
kebutuhan kita,” ujar Elin sambil mengelus punggung Endo.
”Terima
kasih, Kak. Oh iya, Bapak dan Ibu kita di mana, Kak? Dari kecil aku tidak
pernah bertemu dengan mereka. Mereka sudah meninggal atau belum?”
“Kakak
juga tidak tahu, Ndo. Kata orang-orang di sini, Bapak dan Ibu sudah meninggal
ketika kita masih anak-anak,” ucap Elin bercerita.
“Sedih
juga hidup kita, Kak,” jawab Endo.
“Sabar,
Ndo! Allah pasti memberikan kemudahan untuk kita, asal kita mau berusaha dan
tidak mengeluh.”
“Kakak
tenang saja, aku akan selalu berusaha untuk hidup kita. In syaa Allah, suatu saat aku akan membawa kakak ke tempat yang
lebih nyaman dari tempat ini.”
“Kita
tinggal di sini saja sudah cukup bagi kakak, Dek.”
“Tapi
Endo akan tetap berjuang,” ucap Endo tersenyum.
****
Keesokannya, pagi hari, Endo bangun
dan melihat kakaknya tertidur pulas, tetapi Endo penasaran, kenapa kakaknya
terlambat bangun. Berkali-kali Endo membangunkan. Alangkah terkejut ketika Endo
memeriksa detak jantung dan urat nadi Elin, ternyata tidak berfungsi lagi.
Badan Endo lunglai, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi sekarang.
“Kak,
bangun! Kenapa kakak pergi secepat ini? Aku tinggal dengan siapa, Kak? Cuma
kakak yang aku punya,” ujar Endo menangis.
“Kamu
sabar, Ndo. Cobalah ikhlaskan kepergian kak Elin! Mungkin dia lebih tenang di
alam sana. Jangan sedih!” ucap teman Endo mengamen, sambil mengelus punggung
Endo pagi itu di gubuk.
Endo
hanya terdiam. Tidak mampu berkata apa-apa lagi. Dia merasa terpukul dengan
kehilangan kakak satu-satunya yang dia punya.
Setelah
jazad kakaknya di makamkan, Endo duduk berdiam diri di bawah pohon yang
rindang. Dia memikirkan tentang hidupnya yang susah. Kehilangan orang-orang
yang disayanginya untuk selamanya. Dia tak pernah mengenyam pendidikan dari
kecil. Dia hanya bisa memetik gitar yang mulai usang dimakan waktu, mengamen di
lampu merah, dan menahan caci maki dari orang lain.
“Ternyata
hidup ini pedih. Aku ingin sekolah! Aku ingin sekolah! Aku ingin sekolah! Aku
ingin menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Tidak seperti sekarang,”
ucap Endo di dalam hati memekik.
Tiba-tiba
seseorang mengusir Endo dari tempat duduknya.
“Pergi
kamu dari sini, Gembel! Dasar tak berguna, pengotor jalan,” ucap seorang
laki-laki berbadan kekar.
“Iya.
Aku akan pergi. Maaf!”
“Bagus!”
orang itu berlalu dengan angkuhnya.
“Jadi begini kalau
orang yang tak berpendidikan, orang jalanan yang hanya berguna untuk dicaci
maki,” ucap Endo di dalam hati sambil berjalan menuju
gubuk kecilnya.
Setibanya
di gubuk kecil tersebut, Endo berteriak sejadi-jadinya. Apa pun yang ada di
dalam hatinya diluahkan.
“Aku
ingin menjadi seorang yang berpendidikan supaya bisa dihargai orang lain, aku
memang anak jalanan, tapi aku punya hati. Aku bukan untuk dicaci maki.”
Dari
kejauhan terdengar suara mengejutkan Endo. Ternyata suara tersebut adalah suara
teman Endo mengamen.
“Endo!
Kamu sedang apa di sini?”
“Aku
hanya memikirkan hidup yang serba kekurangan ini. Aku ingin sekolah, aku ingin
menjadi seorang yang berpendidikan supaya dihargai orang banyak,” ujar Endo.
“Ingat!
Kita hanya kaum anak jalanan, kita hanya kaum marginal. Untuk makan sehari-hari
saja kita susah mencari uang, apalagi untuk sekolah, Ndo. Kita harus terima
kenyataan hidup ini, kita syukuri,” ujar temannya.
“Iya..
Maaf! Angan-anganku terlalu tinggi. Kapan pemimpin kita bisa menengok kita,
menengok keadaan kita?”
“Entahlah,
Ndo. Kita tunggu saja. Mudah-mudahan ada bantuan untuk kita!”
“Amin.
Kamu tidak mengamen, Ray?”
“Nanti,
Ndo. Aku baru pulang mengamen. Kamu sendiri bagaimana?”
“Mungkin
hari ini aku tidak mengamen. Aku ingin di sini saja,” ujar Endo.
“Kamu
di sini menghayal seperti tadi? Lupakanlah, Ndo,” kata temannya.
“Tidak!
Aku di sini hanya duduk saja,” ucap Endo.
“Aku
harap kamu tidak sedih lagi, Ndo.”
“Iya.”
“Baiklah!
Aku pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Walaikumsalam.”
Begitulah
angan-angan mereka untuk sekolah. Menunggu kedatangan orang untuk bisa
membantu. Namun sampai saat ini, belum ada yang membantu mereka. Hanya
kesabaran yang dimiliki Endo dan Ray, serta pengamen lain.
Tidak hanya Endo, Ray dan temannya
yang menunggu kedatangan mereka ke sini, tapi juga semuanya. Semua yang tidak
pernah mengenyam pendidikan formal seperti yang diinginkan banyak orang.
Pendidikan sangat diperlukan oleh semua manusia. Pendidikan tidak pandang
martabat ataupun segalanya. Pendidikan berlaku untuk umum.
Kaum jalanan juga manusia. Manusia
yang juga butuh kehidupan yang layak seperti halnya orang lain yang
berkehidupan cukup, dan juga butuh pendidikan yang tinggi demi kemajuan bangsa
dan negara ke depannya.
Sabtu, 08 November 2016 di Koran Rakyat Sumbar.
No comments:
Post a Comment