Breaking

Selamat datang di blog Rahmi Intan. Blog ini mengenai seputar karya-karya Rahmi Intan

Saturday, February 3, 2018

Kaum Marginal (Cerpen di Koran Rakyat Sumbar)




 
“KAUM MARGINAL!”
Oleh: Rahmi Intan

Seperti biasanya, siang itu, Endo berjalan di trotoar. Ketika lampu merah menyala, kesempatan Endo untuk mengamen. Dia memetik tali gitarnya yang mulai usang tetapi bunyinya masih bagus.
“Kak, aku berangkat dulu. Mudah-mudahan hari ini kita dapat uang banyak, supaya kakak bisa berobat,” ucap Ando.
“Iya dek, hati-hati. Kakak selalu mendoakan yang terbaik untuk kita,” jawab Elin.
“Kakak di rumah saja. Jangan ke mana-mana! Endo takut nanti kakak kenapa-kenapa.”
“Kakak tidak apa-apa. Hati-hati di jalan!”
Baik kak. Assamu’alaikum,” ujar Endo sambil berjalan keluar dari gubuk kecil yang hanya terbuat dari karton-karton yang dibentuk seperti rumah.
“Walaikumsalam.”
            Keringat bercucuran mengalir di dahi Endo, tapi dia hanya mendapat sedikit uang. Hanya bisa untuk makan sehari saja. Endo terdiam duduk di bawah pohon di tepi jalan raya. Endo sedih karena tidak bisa memberikan uang banyak untuk biaya berobat kakaknya. Endo pulang hanya dengan membawa dua bungkus nasi, dan membawa sedikit obat.
Malam itu, kakaknya tampak duduk di depan gubuk kecil menunggu Endo. Dia tidak peduli meski harus kedinginan di depan gubuk, tapi semangat menunggu Endo tidak pernah pudar.
“Kakak sedang apa di sini?”
“Tidak dek, kakak hanya duduk saja menunggu kamu pulang.”
“Ayo.. Kita masuk, Kak! Aku membawa nasi dan obat untuk kakak,” ucap Endo mengajak Elin masuk ke gubuk kecil tersebut.
“Baiklah.”
Malam itu, mereka makan bersama sambil bercanda tawa.
“Makanannya enak, Ndo. Kakak suka, kamu membeli di mana?”
“Di warung depan, Kak. Alhamdulillah, kalau kakak suka.”
“Ya jelas kakak sukalah, Ndo. Kakak tahu, kamu susah payah mencari uang untuk kebutuhan kita,” ujar Elin sambil mengelus punggung Endo.
”Terima kasih, Kak. Oh iya, Bapak dan Ibu kita di mana, Kak? Dari kecil aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Mereka sudah meninggal atau belum?”
“Kakak juga tidak tahu, Ndo. Kata orang-orang di sini, Bapak dan Ibu sudah meninggal ketika kita masih anak-anak,” ucap Elin bercerita.
“Sedih juga hidup kita, Kak,” jawab Endo.
“Sabar, Ndo! Allah pasti memberikan kemudahan untuk kita, asal kita mau berusaha dan tidak mengeluh.”
“Kakak tenang saja, aku akan selalu berusaha untuk hidup kita. In syaa Allah, suatu saat aku akan membawa kakak ke tempat yang lebih nyaman dari tempat ini.”
“Kita tinggal di sini saja sudah cukup bagi kakak, Dek.”
“Tapi Endo akan tetap berjuang,” ucap Endo tersenyum.
****
            Keesokannya, pagi hari, Endo bangun dan melihat kakaknya tertidur pulas, tetapi Endo penasaran, kenapa kakaknya terlambat bangun. Berkali-kali Endo membangunkan. Alangkah terkejut ketika Endo memeriksa detak jantung dan urat nadi Elin, ternyata tidak berfungsi lagi. Badan Endo lunglai, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi sekarang.
“Kak, bangun! Kenapa kakak pergi secepat ini? Aku tinggal dengan siapa, Kak? Cuma kakak yang aku punya,” ujar Endo menangis.
“Kamu sabar, Ndo. Cobalah ikhlaskan kepergian kak Elin! Mungkin dia lebih tenang di alam sana. Jangan sedih!” ucap teman Endo mengamen, sambil mengelus punggung Endo pagi itu di gubuk.
Endo hanya terdiam. Tidak mampu berkata apa-apa lagi. Dia merasa terpukul dengan kehilangan kakak satu-satunya yang dia punya.
Setelah jazad kakaknya di makamkan, Endo duduk berdiam diri di bawah pohon yang rindang. Dia memikirkan tentang hidupnya yang susah. Kehilangan orang-orang yang disayanginya untuk selamanya. Dia tak pernah mengenyam pendidikan dari kecil. Dia hanya bisa memetik gitar yang mulai usang dimakan waktu, mengamen di lampu merah, dan menahan caci maki dari orang lain.
“Ternyata hidup ini pedih. Aku ingin sekolah! Aku ingin sekolah! Aku ingin sekolah! Aku ingin menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Tidak seperti sekarang,” ucap Endo di dalam hati memekik.
Tiba-tiba seseorang mengusir Endo dari tempat duduknya.
“Pergi kamu dari sini, Gembel! Dasar tak berguna, pengotor jalan,” ucap seorang laki-laki berbadan kekar.
“Iya. Aku akan pergi. Maaf!”
“Bagus!” orang itu berlalu dengan angkuhnya.
“Jadi begini kalau orang yang tak berpendidikan, orang jalanan yang hanya berguna untuk dicaci maki,” ucap Endo di dalam hati sambil berjalan menuju gubuk kecilnya.
Setibanya di gubuk kecil tersebut, Endo berteriak sejadi-jadinya. Apa pun yang ada di dalam hatinya diluahkan.
“Aku ingin menjadi seorang yang berpendidikan supaya bisa dihargai orang lain, aku memang anak jalanan, tapi aku punya hati. Aku bukan untuk dicaci maki.”
Dari kejauhan terdengar suara mengejutkan Endo. Ternyata suara tersebut adalah suara teman Endo mengamen.
“Endo! Kamu sedang apa di sini?”
“Aku hanya memikirkan hidup yang serba kekurangan ini. Aku ingin sekolah, aku ingin menjadi seorang yang berpendidikan supaya dihargai orang banyak,” ujar Endo.
“Ingat! Kita hanya kaum anak jalanan, kita hanya kaum marginal. Untuk makan sehari-hari saja kita susah mencari uang, apalagi untuk sekolah, Ndo. Kita harus terima kenyataan hidup ini, kita syukuri,” ujar temannya.
“Iya.. Maaf! Angan-anganku terlalu tinggi. Kapan pemimpin kita bisa menengok kita, menengok keadaan kita?”
“Entahlah, Ndo. Kita tunggu saja. Mudah-mudahan ada bantuan untuk kita!”
“Amin. Kamu tidak mengamen, Ray?”
“Nanti, Ndo. Aku baru pulang mengamen. Kamu sendiri bagaimana?”
“Mungkin hari ini aku tidak mengamen. Aku ingin di sini saja,” ujar Endo.
“Kamu di sini menghayal seperti tadi? Lupakanlah, Ndo,” kata temannya.
“Tidak! Aku di sini hanya duduk saja,” ucap Endo.
“Aku harap kamu tidak sedih lagi, Ndo.”
“Iya.”
“Baiklah! Aku pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
Walaikumsalam.”
Begitulah angan-angan mereka untuk sekolah. Menunggu kedatangan orang untuk bisa membantu. Namun sampai saat ini, belum ada yang membantu mereka. Hanya kesabaran yang dimiliki Endo dan Ray, serta pengamen lain.
            Tidak hanya Endo, Ray dan temannya yang menunggu kedatangan mereka ke sini, tapi juga semuanya. Semua yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal seperti yang diinginkan banyak orang. Pendidikan sangat diperlukan oleh semua manusia. Pendidikan tidak pandang martabat ataupun segalanya. Pendidikan berlaku untuk umum.
            Kaum jalanan juga manusia. Manusia yang juga butuh kehidupan yang layak seperti halnya orang lain yang berkehidupan cukup, dan juga butuh pendidikan yang tinggi demi kemajuan bangsa dan negara ke depannya.

Sabtu, 08 November 2016 di Koran Rakyat Sumbar.

No comments:

Post a Comment