“TEROWONGAN”
Oleh : Rahmi Intan
Di sinilah tempat kami tinggal. Tempat
yang entah berapa kilometer dari kerumunan manusia yang sibuk dengan kerlap-kerlip
teknologi moderen. Kami mengais demi sebuah harapan. Kelak, akan kami kejar
seberkas cahaya itu.
Tengoklah! Layakkah kami terus berada
di sini? Kalian akan menemukan kami di sudut-sudut ladang sambil mencangkul
tanah dan menanam bibit kembali setelah panen. Tidur beralaskan tikar usang.
Dinding lapuk dimakan usia. Atap rumbia yang diterobos titik air dari langit
seakan terus turun tanpa henti. Inilah rumah kami. Layaknya bukan rumah, tapi
gubuk yang sudah mulai miring.
Dari kejauhan, tampaklah dua manusia
sedang memperbincangkan suatu hal.
“Hei, Kau! Ini tanahku. Tanah warisan
nenekku. Kenapa kau menanam ubimu tak jelas di sini?” gumam seseorang berbadan
tegap dan kekar.
“Apa kau bilang? Sejak dulu sampai
sekarang, tanah ini milik nenekku. Kaulupa! Kita sudah sepakat batasan tanahkau
di sebelah sana,” jawab seseorang berbadan kurus.
“Tidak bisa! Ini masih tanah milikku.”
“Apa perlu kuperlihatkan surat-surat
tentang tanah ini kepadamu?”
“Ah.. Sudahlah!” ucap laki-laki
berbadan tegap dan kekar berlalu dari hadapan laki-laki kurus tersebut.
Kami tidak terlalu mengetahui apa
maksud mereka. Tanah? Sebuah tanah yang hanya berukuran 1 meter jadi
pertikaian. Pada hakikatnya, kami di sini hanya menumpang hidup. Mencari sesuap
nasi untuk cacing-cacing di perut.
Pertikaian ini bukanlah yang pertama
kalinya. Tapi sudah ke sekian kali mereka memperdebatkan 1 meter tanah di
sebelah gubuk kami. Tanah yang sedikit itu memang sangat subur sekali. Apa pun
jenis buah-buahan atau sayur-sayuran yang ditanam, pasti akan cepat mendapat
hasil.
Seiring waktu berjalan. Tempat ini
sedikit demi sedikit mulai berubah. Lebih parah dari sebelumnya. Nyaris kami ditendang
dari gubuk ini.
“Hei, Kau! Apa kau yang tinggal di
gubuk reot ini?” tanya laki-laki berbadan tegap dan kekar dengan garangnya.
“I.. Iya, Pak,” jawabku dengan gagu.
“Hari ini kalian tinggalkan tempat
ini. Tempat ini akan saya jadikan ladang ubi baru.”
“Jangan, Pak! Tempat tinggal saya
hanya di sini. Mencari makan pun saya hanya bisa di sini bersama istri dan
anak-anak.”
“Saya tidak peduli! Kalian bisa
tinggal di mana mau kalian. Di bawah pohon pun kalian bisa tinggal.”
“Tolonglah kami, Pak!” sambilku
memohon mengharap ada satu kata yang layak untuk kudengar.
“Ah.. Ini barang kalian. Silakan
pergi!” gumamnya sambil berlalu dari hadapan kami.
Berjalan entah ke mana. Nampaknya
belum ada titik yang menemukan kami untuk bernaung. Masih terkatung-katung di
jalan yang penuh batu tajam. Kulit telapak kaki terkoyak pun tak dihiraukan
lagi.
Aku berdiri tegap menatap satu tempat.
Di mana di tempat itu tidak ada satu orang pun. Bahkan yang ada di situ hanya
harimau dan binatang lainnya. Dengan keberanian yang kuat, kuhampiri harimau
yang menatap sedari tadi.
“Aku di sini hanya untuk beristirahat.
Bukan untuk mengganggumu.” Ujarku perlahan-lahan mendekati. Tampaknya harimau
tersebut mengerti dengan yang kumaksud.
Selang waktu berganti, jadilah aku
beserta istri dan anak-anak tinggal di bawah pohon rindang yang tingginya
mencapai 6 meter. Di sini kami bisa mencari makan dengan membuka ladang untuk
tempat mengais. Masih teringat olehku kata-kata laki-laki berbadan tegap dan
kekar dulu.
“Saya tidak peduli! Kalian bisa
tinggal di mana mau kalian. Di bawah pohon pun kalian bisa tinggal.”
Ya, kata lelaki tersebut benar. Di
bawah pohonlah tempat layak untuk kami tinggal seperti sekarang.
Sedikit demi sedikit ladang ini pun
mulai siap panen. Membuahkan banyak hasil yang membuat kami tercengang dengan
sendirinya.
“Mau kita apakan ubi sebanyak ini,
Pak?” tanya istriku.
“Kita jual, Buk. Uangnya kita tabung.”
“Oalah, Bapak. Mau dijual ke mana?
Kita tinggal paling pelosok. Takkan ada yang tahu kita tinggal di sini.”
Lama juga berpikir dan mencerna
perkataan istriku. Apa yang dikatakannya benar. Bagaimana pun juga ubi ini
harus terjual semua. Dikonsumsi satu minggu pun, ubi tersebut pasti belum habis
juga. Belum lagi ubi panen baru. Tentunya rumah kecil yang kubuat ini tak cukup
menampung ubi sebanyak itu.
Berhari-hari kumerenung, tapi belum
ada solusi untuk ubi ini. Pada
akhirnya terdengarlah kabar bahwa akan ada orang yang datang ke sini.
“Moga-moga saja orang yang datang
membeli ubi kita, Pak.”
“Amin, Buk. Doakan saja.”
Tibalah rombongan umat manusia yang
berpakaian necis mendatangi tempat kami.
“Wah! Ubinya banyak sekali, Pak. Sudah
berapa lama?” tanyanya ramah.
“Sudah seminggu, Pak.”
“Mau diapakan ubi sebanyak ini?”
“Kami pun tidak tahu. Kami kewalahan.
Mau dijual pun tidak tahu ke mana?”
“Kebetulan istri saya susah mencari
ubi. Bagaimana kalau saya yang membeli semuanya?”
“Benar,
Pak?”
“Iya,” angguknya.
Jadilah aku dan istri menjual semua ubi
entah berapa karungnya, yang
jelas kami belum pernah mendapat uang sebanyak ini.
“Tabung saja uangnya, Buk. Mana tahu
nanti kita bisa buat rumah besar dan toko ubi. Lalu disedekahkan.”
“Benar, Pak.”
****
Empat tahun berlalu. Mungkin kalian
tak akan percaya dengan ini. Dulu, kami tinggal di gubuk reot tengah ladang
milik orang lain. Kini, kami tak perlu susah-susah lagi mencari uang. Semua
yang inginkan ubi bisa datang ke tempat kami. Eits.. Bukan di bawah pohon lagi.
Tapi kami memiliki tempat hidup baru. Tidak jauh dari pohon tersebut. Kami
mengembalikan tempat hidup binatang loreng ke tempatnya semula, setelah empat
tahun kami pinjam.
Belakangan ini kami mendengar
bahwasannya gubuk reot dan ladang tempat kami hidup dulu sudah menjadi
Perseroan Terbatas. Kabarnya pemilik PT itu bukan laki-laki berbadan tegap dan
kekar, dan bukan juga laki-laki kurus pada waktu itu. Ternyata mereka
menggadaikan tanah tersebut.
Pagi itu, terdengar pintu diketuk.
Sepagi ini biasanya belum ada orang yang memesan ubi.
“Karman. Boleh saya masuk?”
“Oh, silakan! Bapak siapa?” tanyaku
heran.
“Sebelumnya saya minta maaf. Saya dulu
pernah mengusir kamu dari gubuk reot itu. Sekarang sudah menjadi PT.”
“Oh, Bapak Suparto. Tidak apa-apa,
Pak. Apa kabar?”
“Baik, Karman. Dengar-dengar, usaha
ubimu sukses di sini.”
“Begitulah, Pak. Alhamdulillah. Sekarang saya sudah bisa
lebih nyaman di sini.”
“Tujuan saya ke sini ingin meminjam
uang kepadamu. Hutang saya ada di mana-mana.”
“Baiklah, Pak! Apakah sebanyak ini cukup? Anggap
saja ini ucapan terima kasih saya telah diizinkan tinggal di gubuk reot itu. Bapak
tidak usah mengembalikan uang ini kepada saya.” Sambil mengeluarkan uang dalam saku dengan jumlah yang lumayan banyak.
“Terima kasih banyak, Karman,” ujar laki-laki itu sambil
berlalu dari hadapan Karman.
Tak kusangka, orang yang kuanggap
sangat kaya dan menguasai segalanya, kini meminjam uang. Bagiku tak apa, dia
juga pernah menyarankanku untuk tinggal di bawah pohon, karena itulah aku bisa
seperti ini.
Seiring waktu berjalan. Kini tempatku
semakin ramai oleh kerlap-kerlip teknologi moderen. Semua orang tak perlu lagi
mengais ke ladang orang. Kupekerjakan mereka di perusahaanku yang dulunya toko
kecil.
Datanglah ke tempatku sekarang. Di
sini kalian akan menemukan terowongan panjang yang dulunya kelam. Tak ada kerlap-kerlip
teknologi moderen. Sekarang tempatku sudah dihiasi warna-warni cahaya.
Dulu, kalian selalu melihatku mengais
di ladang orang dan tinggal di gubuk reot. Kini, kalian bisa melihatku berjalan
memantau keadaan sekeliling. Berpakaian necis layaknya seperti pejabat kalangan
atas.
Tak ada yang mesti diperdebatkan lagi.
Toh, kalau pun itu semua tak jadi masalah. Melihat mereka seperti itu pun sudah
cukup bagiku. Biar bagaimana pun, aku pernah di posisi mereka. Aku pernah
berada di dalam terowongan panjang itu.
Terbit di Koran Pasaman News, Agustus 2015
No comments:
Post a Comment