Breaking

Selamat datang di blog Rahmi Intan. Blog ini mengenai seputar karya-karya Rahmi Intan

Saturday, February 3, 2018

Terowongan (Cerpen di Koran Pasaman News)


“TEROWONGAN”
Oleh : Rahmi Intan
          Di sinilah tempat kami tinggal. Tempat yang entah berapa kilometer dari kerumunan manusia yang sibuk dengan kerlap-kerlip teknologi moderen. Kami mengais demi sebuah harapan. Kelak, akan kami kejar seberkas cahaya itu.
          Tengoklah! Layakkah kami terus berada di sini? Kalian akan menemukan kami di sudut-sudut ladang sambil mencangkul tanah dan menanam bibit kembali setelah panen. Tidur beralaskan tikar usang. Dinding lapuk dimakan usia. Atap rumbia yang diterobos titik air dari langit seakan terus turun tanpa henti. Inilah rumah kami. Layaknya bukan rumah, tapi gubuk yang sudah mulai miring.
          Dari kejauhan, tampaklah dua manusia sedang memperbincangkan suatu hal.
          “Hei, Kau! Ini tanahku. Tanah warisan nenekku. Kenapa kau menanam ubimu tak jelas di sini?” gumam seseorang berbadan tegap dan kekar.
          “Apa kau bilang? Sejak dulu sampai sekarang, tanah ini milik nenekku. Kaulupa! Kita sudah sepakat batasan tanahkau di sebelah sana,” jawab seseorang berbadan kurus.
          “Tidak bisa! Ini masih tanah milikku.”
          “Apa perlu kuperlihatkan surat-surat tentang tanah ini kepadamu?”
          “Ah.. Sudahlah!” ucap laki-laki berbadan tegap dan kekar berlalu dari hadapan laki-laki kurus tersebut.
          Kami tidak terlalu mengetahui apa maksud mereka. Tanah? Sebuah tanah yang hanya berukuran 1 meter jadi pertikaian. Pada hakikatnya, kami di sini hanya menumpang hidup. Mencari sesuap nasi untuk cacing-cacing di perut.
          Pertikaian ini bukanlah yang pertama kalinya. Tapi sudah ke sekian kali mereka memperdebatkan 1 meter tanah di sebelah gubuk kami. Tanah yang sedikit itu memang sangat subur sekali. Apa pun jenis buah-buahan atau sayur-sayuran yang ditanam, pasti akan cepat mendapat hasil.
          Seiring waktu berjalan. Tempat ini sedikit demi sedikit mulai berubah. Lebih parah dari sebelumnya. Nyaris kami ditendang dari gubuk ini.
          “Hei, Kau! Apa kau yang tinggal di gubuk reot ini?” tanya laki-laki berbadan tegap dan kekar dengan garangnya.
          “I.. Iya, Pak,” jawabku dengan gagu.
          “Hari ini kalian tinggalkan tempat ini. Tempat ini akan saya jadikan ladang ubi baru.”
          “Jangan, Pak! Tempat tinggal saya hanya di sini. Mencari makan pun saya hanya bisa di sini bersama istri dan anak-anak.”
          “Saya tidak peduli! Kalian bisa tinggal di mana mau kalian. Di bawah pohon pun kalian bisa tinggal.”
          “Tolonglah kami, Pak!” sambilku memohon mengharap ada satu kata yang layak untuk kudengar.
          “Ah.. Ini barang kalian. Silakan pergi!” gumamnya sambil berlalu dari hadapan kami.
          Berjalan entah ke mana. Nampaknya belum ada titik yang menemukan kami untuk bernaung. Masih terkatung-katung di jalan yang penuh batu tajam. Kulit telapak kaki terkoyak pun tak dihiraukan lagi.
          Aku berdiri tegap menatap satu tempat. Di mana di tempat itu tidak ada satu orang pun. Bahkan yang ada di situ hanya harimau dan binatang lainnya. Dengan keberanian yang kuat, kuhampiri harimau yang menatap sedari tadi.
          “Aku di sini hanya untuk beristirahat. Bukan untuk mengganggumu.” Ujarku perlahan-lahan mendekati. Tampaknya harimau tersebut mengerti dengan yang kumaksud.     
          Selang waktu berganti, jadilah aku beserta istri dan anak-anak tinggal di bawah pohon rindang yang tingginya mencapai 6 meter. Di sini kami bisa mencari makan dengan membuka ladang untuk tempat mengais. Masih teringat olehku kata-kata laki-laki berbadan tegap dan kekar dulu.
          “Saya tidak peduli! Kalian bisa tinggal di mana mau kalian. Di bawah pohon pun kalian bisa tinggal.”
          Ya, kata lelaki tersebut benar. Di bawah pohonlah tempat layak untuk kami tinggal seperti sekarang.
          Sedikit demi sedikit ladang ini pun mulai siap panen. Membuahkan banyak hasil yang membuat kami tercengang dengan sendirinya.
          “Mau kita apakan ubi sebanyak ini, Pak?” tanya istriku.
          “Kita jual, Buk. Uangnya kita tabung.”
          “Oalah, Bapak. Mau dijual ke mana? Kita tinggal paling pelosok. Takkan ada yang tahu kita tinggal di sini.”
          Lama juga berpikir dan mencerna perkataan istriku. Apa yang dikatakannya benar. Bagaimana pun juga ubi ini harus terjual semua. Dikonsumsi satu minggu pun, ubi tersebut pasti belum habis juga. Belum lagi ubi panen baru. Tentunya rumah kecil yang kubuat ini tak cukup menampung ubi sebanyak itu.
          Berhari-hari kumerenung, tapi belum ada solusi untuk ubi ini. Pada akhirnya terdengarlah kabar bahwa akan ada orang yang datang ke sini.
          “Moga-moga saja orang yang datang membeli ubi kita, Pak.”
          “Amin, Buk. Doakan saja.”
          Tibalah rombongan umat manusia yang berpakaian necis mendatangi tempat kami.
          “Wah! Ubinya banyak sekali, Pak. Sudah berapa lama?” tanyanya ramah.
          “Sudah seminggu, Pak.”
          “Mau diapakan ubi sebanyak ini?”
          “Kami pun tidak tahu. Kami kewalahan. Mau dijual pun tidak tahu ke mana?”
          “Kebetulan istri saya susah mencari ubi. Bagaimana kalau saya yang membeli semuanya?”
          “Benar, Pak?”
          “Iya,” angguknya.
          Jadilah aku dan istri menjual semua ubi entah berapa karungnya, yang jelas kami belum pernah mendapat uang sebanyak ini.
          “Tabung saja uangnya, Buk. Mana tahu nanti kita bisa buat rumah besar dan toko ubi. Lalu disedekahkan.”
          “Benar, Pak.”
****
          Empat tahun berlalu. Mungkin kalian tak akan percaya dengan ini. Dulu, kami tinggal di gubuk reot tengah ladang milik orang lain. Kini, kami tak perlu susah-susah lagi mencari uang. Semua yang inginkan ubi bisa datang ke tempat kami. Eits.. Bukan di bawah pohon lagi. Tapi kami memiliki tempat hidup baru. Tidak jauh dari pohon tersebut. Kami mengembalikan tempat hidup binatang loreng ke tempatnya semula, setelah empat tahun kami pinjam.
          Belakangan ini kami mendengar bahwasannya gubuk reot dan ladang tempat kami hidup dulu sudah menjadi Perseroan Terbatas. Kabarnya pemilik PT itu bukan laki-laki berbadan tegap dan kekar, dan bukan juga laki-laki kurus pada waktu itu. Ternyata mereka menggadaikan tanah tersebut.
          Pagi itu, terdengar pintu diketuk. Sepagi ini biasanya belum ada orang yang memesan ubi.
          “Karman. Boleh saya masuk?”
          “Oh, silakan! Bapak siapa?” tanyaku heran.
          “Sebelumnya saya minta maaf. Saya dulu pernah mengusir kamu dari gubuk reot itu. Sekarang sudah menjadi PT.”
          “Oh, Bapak Suparto. Tidak apa-apa, Pak. Apa kabar?”
          “Baik, Karman. Dengar-dengar, usaha ubimu sukses di sini.”
          “Begitulah, Pak. Alhamdulillah. Sekarang saya sudah bisa lebih nyaman di sini.”
          “Tujuan saya ke sini ingin meminjam uang kepadamu. Hutang saya ada di mana-mana.”
          “Baiklah, Pak! Apakah sebanyak ini cukup? Anggap saja ini ucapan terima kasih saya telah diizinkan tinggal di gubuk reot itu. Bapak tidak usah mengembalikan uang ini kepada saya.” Sambil mengeluarkan uang dalam saku dengan jumlah yang lumayan banyak.
          “Terima kasih banyak, Karman,” ujar laki-laki itu sambil berlalu dari hadapan Karman.
          Tak kusangka, orang yang kuanggap sangat kaya dan menguasai segalanya, kini meminjam uang. Bagiku tak apa, dia juga pernah menyarankanku untuk tinggal di bawah pohon, karena itulah aku bisa seperti ini.
          Seiring waktu berjalan. Kini tempatku semakin ramai oleh kerlap-kerlip teknologi moderen. Semua orang tak perlu lagi mengais ke ladang orang. Kupekerjakan mereka di perusahaanku yang dulunya toko kecil.
          Datanglah ke tempatku sekarang. Di sini kalian akan menemukan terowongan panjang yang dulunya kelam. Tak ada kerlap-kerlip teknologi moderen. Sekarang tempatku sudah dihiasi warna-warni cahaya.
          Dulu, kalian selalu melihatku mengais di ladang orang dan tinggal di gubuk reot. Kini, kalian bisa melihatku berjalan memantau keadaan sekeliling. Berpakaian necis layaknya seperti pejabat kalangan atas.

          Tak ada yang mesti diperdebatkan lagi. Toh, kalau pun itu semua tak jadi masalah. Melihat mereka seperti itu pun sudah cukup bagiku. Biar bagaimana pun, aku pernah di posisi mereka. Aku pernah berada di dalam terowongan panjang itu.

Terbit di Koran Pasaman News, Agustus 2015

No comments:

Post a Comment