“Sutera”
Oleh : Rahmi Intan
Awan masih berkelayut mendung. Belum
tampak setitik cahaya. Membuat mata enggan terbuka lebar untuk melihat jam di
atas meja yang sedari tadi masih berdering-dering. Ia masih mengusap kedua
pelupuk mata. Jam menunjukkan pukul tujuh. Selimut dan bantal berhamburan dibiarkan begitu saja.
Cepat-cepat ia menuju kamar mandi.
Hari ini memasuki tahun ajaran baru
dengan kelas baru, begitu juga teman-teman. Selepas meraih ijazah SMPN begitu
memuaskan. Sudah dua tahun ia berada di sini. Hidup seadanya, tak begitu
menjanjikan. Hanya sekolah yang bisa diandalkan. Baginya pendidikan lebih
penting dari segala hal, begitu yang ia ingat dari ucapan Mama.
“Kau
harus bisa lebih menghidupi dirimu sendiri nanti. Adakala suatu hari kau
kehilangan orang yang kau butuhkan. Bisa sesaat, bisa selamanya.”
Bus masih belum lewat. Telah sepuluh
menit ia berdiri di depan rumah. Tinggal lima menit tersisa waktu untuk
melangkahkan kaki hingga sampai di sekolah. Yang dinanti datang juga, sayangnya
bus hanya lewat dengan kecepatan tinggi tanpa menghiraukan lambaian tangan yang
sedari tadi mengarah ke muka bus. Embusan napas kecewa terpadu di wajah
mungilnya. Masih tertunduk diam menatap jalanan bertembok yang sedikit demi
sedikit terkikis usang.
“Mau berangkat bareng, Kak?” ketus
seorang laki-laki dari atas motor vega.
Motor melaju kencang, tak dihiraukan
lagi resah yang tadi menjalar di benak. Pikirannya tertuju pada sekolah baru,
kelas baru, begitu juga teman-teman baru. Akan lebih asik lagi ia berteman di
sini. Kenangan tiga tahun di SMPN tak akan terlupakan, meski ditelan zaman;
meski tengah berada di sekolah ini sebentar lagi.
Depan gerbang memisahkan keduanya.
Laki-laki dengan seragam celana dongker dan baju putih menggas motor kecepatan
tinggi agar tak terlambat. Ia palingkan badan tepat di hadapan gerbang.
“Sudah jam berapa ini? Kelas
berapa?” tanya satpam berkumis.
“Maaf, saya anak baru. Maklum, tidak
tahu jalan ke sini, Pak. Tanya sana-sini dulu.”
“Baik, saya maafkan. Silakan masuk!”
sambil mendorong pintu gerbang ke dalam.
Masih beruntung ia tak diomeli
berlama-lama. Kalau pun iya, jadwal pelajaran pertama bisa-bisa ketinggalan
jauh. Apalagi satpam terlihat gersang, tegas, dan kurang bersabat juga.
Langkahnya terus berayun di atas lantai keramik sedikit licin menuju kelas
baru. Napas ngos-ngosan, sulit dihela
ke dalam. Tibalah di kelas baru, lumayan besar, bisa menampung 40 siswa.
Sayangnya tak satu pun yang ia kenal di sana, mungkin bisa satu alumni saja
dari SMPN sama yang ia kenal agar terjalin komunikasi supaya ia tak geregetan.
“Kenapa terlambat? Silakan masuk!”
ujar seorang Guru dari dalam.
“Maaf, Buk. Tadi kesasar di jalan.”
Segerombolan di sudut belakang
tertawa cengengesan. Menertawakan
kehadirannya berdiri tegak di depan kelas dengan alasan yang menurut mereka
sebuah lelucon. Menganggap ia katrok, kurang pergaulan, hingga sekolah berlabel
elit tak diketahui sampai nyasar entah ke mana. Namun ia tertunduk lagi seperti
di halte pagi tadi. Ingin ia meneteskan air mata, tapi ditahan dalam-dalam.
Kain sutera di tangan masih dipegang erat-erat. Teringat wajah Mama di hati dan
pikirannya. Di mana Mama selalu memberi nasehat agar tidak cengeng di hadapan
orang banyak. “Sekali pun kau meraung tangis ke angkasa, orang tak akan peduli.
Bahkan dunia pun juga tak peduli.”
Wajah Mama masih terus membayang di
benak. Kata demi kata yang dilontarkan Mama dulu membendung duka lara di hati.
Belum air mata jatuh, cepat-cepat ia usap agar tak ada yang melihat kalau ia
sedang bersedih. Berusaha ia tutupi wajah dengan jilbab putih bermerek SMAN
xxxx itu. Sengaja ia lebih menunduk lagi dan tak berani memandangi sekeliling,
apalagi memandangi segerombolan perempuan di sudut kelas.
Ia juga teringat Mama yang selalu
menyediakan sarapan untuknya di pagi hari. Membelai rambut hitam ikal, mengelus
kepala, dan memeluk erat tubuhnya. Begitu cinta dan kasih sayang Mama padanya,
tak pernah lekang oleh zaman, tak bisa diganti dengan apa pun juga.
“Nak, apa yang akan kau lakukan jika
Mama telah tiada?” tanya ibunya pagi itu.
“Belajar arti kepergian, dan
menerima arti keikhlasan. Bukan begitu, Ma? Ngomong-ngomong, kenapa Mama
bertanya hal itu?”
“Hanya ingin kau lebih mengerti lagi
hidup sesungguhnya. Kadang seseorang harus dicambuk dulu, baru tersadar.”
“Maksud Mama?” tanyanya masih
linglung.
Diam menyelimuti, Mama tak menjawab.
Semakin waktu berjalan, semakin hening tercipta. Ucapan salam dan cium tangan
sebelum pergi sekolah menjadi perpisahannya pagi itu selepas hening tadi.
Tinggal gelas dan piring kosong di meja makan. Ada yang tertinggal di atas meja
makan, sebuah kain sutera yang dijahitnya bersama Mama kemarin sore. Buru-buru
Mama mengejar ke depan rumah, tapi bus yang ia tumpangi sudah sangat jauh.
Motor buntut di sebelah rumah
dikendarai mamanya, berharap dapat mengejar bus di depan. Langkah Mama
berlari-lari menuju kelasnya. Terlihat seorang Guru tengah menjelaskan
pelajaran di depan kelas. Sudah lima menit berlalu pelajaran berlangsung. Ia
tak tampak di dalam kelas. Rasa kawatir Mama menjadi-jadi, Mama menemukan ia
tersungkur di sudut toilet dengan napas tersengal-sengal. Obat hirup diletakkan
di mulut dan hidungnya. Barulah ia pulih kembali. Belum lama, ia mimisan. Kain
sutera menjadi andalan hingga berhenti pendarahan.
Mama memeluk ia erat-erat, tak ingin
kehilangan. Sudah cukup ia menderita penyakit asma dan mimisan. Jangan ditambah
lagi! Pewarisan gen dari Mama turun kepadanya. Lambaian tangan Mama lebih
memulihkannya untuk semangat belajar dan melawan penyakit diderita. Tak ada
kata menyerah untuk berdiri lebih tegap lagi.
Gemuruh di langit sore mengantarkan
kepergian Mama. Tak percaya bahwasannya Mama pergi secepat itu. Kain sutera
pemberian terakhir Mama, di mana ia menjahit pertama kalinya agar nanti bisa
mengikuti jejak langkah Mama sebagai seorang tukang jahit. Kain sutera dibasahi
air matanya, lalu dipeluk dalam-dalam. Penyakit asma yang diderita ternyata
membuat Mama pergi selama-selamanya, namun bukan itu, lebih kepada sebuah garis
takdir.
“Kini aku siap menerima kepergian.
Selamat jalan, Mama!” lambaian tangannya sebelum menjejaki langkah ke peraduan.
****
Tak terasa air mata telah banyak
terjatuh ke lantai dari tadi. Ia tak mampu menahan lagi genangan air di mata
yang tadinya berbinar memasuki kelas. Mengenang pasal kejadian dua tahun lalu.
Ia tak boleh menangis, ia harus tegakkan kepala. Ini bukan zaman cengeng, ini
zaman kuat. Yang lalu adalah kenangan, yang ke depan adalah harapan. Hanya
karena cemoohan mereka ia jatuh, tidak! Justru karena cemoohan mereka ia harus
bangkit.
Ia langkahkan kaki menuju tempat
duduk paling belakang, tepat di sebelah ketua rombongan itu. Guru dan semua
yang di dalam terheran dengan tingkahnya, tapi ia tersenyum manis membalas. Ia
mengulurkan tangan ke teman sekeliling, semua menjabat uluran tangan dengan
ramah. Seolah-olah tak ada terjadi masalah sebelumnya.
“Mama benar. Orang jahat dan keras
hanya bisa dibalas dengan lembut dan baik,” ucapnya dalam hati.
Kain sutera menjadi bahan perhatian
mereka semua selepas pelajaran usai. Bukan kain yang ia banggakan, tapi hasil
jahitan, dan susah payahnya ia menjahit tanpa Mama. Banyak yang bertanya-tanya
kenapa kain suteranya sangat bagus. Padahal jarang di tempat itu ditemukan
sutera sebagus miliknya. Yang lain sangat ingin memiliki, sayang ia tak bisa
menjawab. Karena ia sendiri tidak tahu di mana Mama mendapat kain sebagus itu.
Jawabannya terpecahkan ketika ia
tahu bahwa kain sutera itu salah satu mahar kawin Ayah waktu menikahi Mama
dulu. Maka sangatlah berharga bagi Mama, dan akan lebih berharga untuknya.
Setahun ia belajar menjahit di ruang tengah rumahnya untuk menyelesaikan
kerudung dari kain sutera itu.
Kini kerudung dari kain sutera itu telah jadi. Kali ini ia lebih
mengerti lagi maksud mamanya dulu. Setelah kehilangan ia harus mengerti hidup
sesungguhnya. Bahwasannya hidup untuk beramal, membagikan ilmu, berbakti pada
orangtua, tentunya untuk mendapat ridho dari-Nya. Juga untuk memberitahu bahwa
kita berasal dari tanah, dan kembali ke dalam tanah. Tak selalu orangtua keras
akan kehendaknya adalah buruk, namun lebih kepada kebaikan kita sebagai anak.
Perkataan Ibu jauh lebih benar dari pikiran kita. Sebab, seorang Ibu tidak
pernah salah diciptakan untuk mendidik seoarang anak.
Ia terus pandangi mesin jahit.
Karena mesin jahit dan perjuangan Mama dulu menjadikan ia hidup lebih baik seperti sekarang. Kasih sayang dan cinta Mama
ada di dalam hatinya, maka dari itu Mama tak pernah hilang baginya. Pintu
terdengar diketuk seseorang dari luar. Ia membuka perlahan.
“Apa benar ini nak Sera, anak dari
Ibuk Sulaswati? Saya mau menjahit baju di sini. Kebetulan tidak ada penjahit di
sekitar sini.”
“Iya, Buk. Benar, saya sendiri Sera.
Berapa kain, Buk?”
“Sekitar 100 kain batik sutera
dijahit untuk jadi seragam batik anak-anak di sekolah saya.”
“Oh,
begitu!” ujarnya sambil garuk-garuk kepala tak karuan. Rezeki selalu datang
dari segala pintu. Ini mah entah rezeki atau apa.
Koran Padang Ekspres, 18 November 2015.
Cerpen Sutera pernah meraih cerpen terbaik 2 lomba dari penerbit Phoenix.
No comments:
Post a Comment