Breaking

Selamat datang di blog Rahmi Intan. Blog ini mengenai seputar karya-karya Rahmi Intan

Sunday, February 4, 2018

Sutera (Cerpen di Koran Padang Ekspres)


“Sutera”
Oleh : Rahmi Intan

            Awan masih berkelayut mendung. Belum tampak setitik cahaya. Membuat mata enggan terbuka lebar untuk melihat jam di atas meja yang sedari tadi masih berdering-dering. Ia masih mengusap kedua pelupuk mata. Jam menunjukkan pukul tujuh. Selimut dan bantal  berhamburan dibiarkan begitu saja. Cepat-cepat ia menuju kamar mandi.
            Hari ini memasuki tahun ajaran baru dengan kelas baru, begitu juga teman-teman. Selepas meraih ijazah SMPN begitu memuaskan. Sudah dua tahun ia berada di sini. Hidup seadanya, tak begitu menjanjikan. Hanya sekolah yang bisa diandalkan. Baginya pendidikan lebih penting dari segala hal, begitu yang ia ingat dari ucapan Mama.
            “Kau harus bisa lebih menghidupi dirimu sendiri nanti. Adakala suatu hari kau kehilangan orang yang kau butuhkan. Bisa sesaat, bisa selamanya.”
            Bus masih belum lewat. Telah sepuluh menit ia berdiri di depan rumah. Tinggal lima menit tersisa waktu untuk melangkahkan kaki hingga sampai di sekolah. Yang dinanti datang juga, sayangnya bus hanya lewat dengan kecepatan tinggi tanpa menghiraukan lambaian tangan yang sedari tadi mengarah ke muka bus. Embusan napas kecewa terpadu di wajah mungilnya. Masih tertunduk diam menatap jalanan bertembok yang sedikit demi sedikit terkikis usang.
            “Mau berangkat bareng, Kak?” ketus seorang laki-laki dari atas motor vega.
            Motor melaju kencang, tak dihiraukan lagi resah yang tadi menjalar di benak. Pikirannya tertuju pada sekolah baru, kelas baru, begitu juga teman-teman baru. Akan lebih asik lagi ia berteman di sini. Kenangan tiga tahun di SMPN tak akan terlupakan, meski ditelan zaman; meski tengah berada di sekolah ini sebentar lagi.
            Depan gerbang memisahkan keduanya. Laki-laki dengan seragam celana dongker dan baju putih menggas motor kecepatan tinggi agar tak terlambat. Ia palingkan badan tepat di hadapan gerbang.
            “Sudah jam berapa ini? Kelas berapa?” tanya satpam berkumis.
            “Maaf, saya anak baru. Maklum, tidak tahu jalan ke sini, Pak. Tanya sana-sini dulu.”
            “Baik, saya maafkan. Silakan masuk!” sambil mendorong pintu gerbang ke dalam.
            Masih beruntung ia tak diomeli berlama-lama. Kalau pun iya, jadwal pelajaran pertama bisa-bisa ketinggalan jauh. Apalagi satpam terlihat gersang, tegas, dan kurang bersabat juga. Langkahnya terus berayun di atas lantai keramik sedikit licin menuju kelas baru. Napas ngos-ngosan, sulit dihela ke dalam. Tibalah di kelas baru, lumayan besar, bisa menampung 40 siswa. Sayangnya tak satu pun yang ia kenal di sana, mungkin bisa satu alumni saja dari SMPN sama yang ia kenal agar terjalin komunikasi supaya ia tak geregetan.
            “Kenapa terlambat? Silakan masuk!” ujar seorang Guru dari dalam.
            “Maaf, Buk. Tadi kesasar di jalan.”
            Segerombolan di sudut belakang tertawa cengengesan. Menertawakan kehadirannya berdiri tegak di depan kelas dengan alasan yang menurut mereka sebuah lelucon. Menganggap ia katrok, kurang pergaulan, hingga sekolah berlabel elit tak diketahui sampai nyasar entah ke mana. Namun ia tertunduk lagi seperti di halte pagi tadi. Ingin ia meneteskan air mata, tapi ditahan dalam-dalam. Kain sutera di tangan masih dipegang erat-erat. Teringat wajah Mama di hati dan pikirannya. Di mana Mama selalu memberi nasehat agar tidak cengeng di hadapan orang banyak. “Sekali pun kau meraung tangis ke angkasa, orang tak akan peduli. Bahkan dunia pun juga tak peduli.”
            Wajah Mama masih terus membayang di benak. Kata demi kata yang dilontarkan Mama dulu membendung duka lara di hati. Belum air mata jatuh, cepat-cepat ia usap agar tak ada yang melihat kalau ia sedang bersedih. Berusaha ia tutupi wajah dengan jilbab putih bermerek SMAN xxxx itu. Sengaja ia lebih menunduk lagi dan tak berani memandangi sekeliling, apalagi memandangi segerombolan perempuan di sudut kelas.
            Ia juga teringat Mama yang selalu menyediakan sarapan untuknya di pagi hari. Membelai rambut hitam ikal, mengelus kepala, dan memeluk erat tubuhnya. Begitu cinta dan kasih sayang Mama padanya, tak pernah lekang oleh zaman, tak bisa diganti dengan apa pun juga.
            “Nak, apa yang akan kau lakukan jika Mama telah tiada?” tanya ibunya pagi itu.
            “Belajar arti kepergian, dan menerima arti keikhlasan. Bukan begitu, Ma? Ngomong-ngomong, kenapa Mama bertanya hal itu?”
            “Hanya ingin kau lebih mengerti lagi hidup sesungguhnya. Kadang seseorang harus dicambuk dulu, baru tersadar.”
            “Maksud Mama?” tanyanya masih linglung.
            Diam menyelimuti, Mama tak menjawab. Semakin waktu berjalan, semakin hening tercipta. Ucapan salam dan cium tangan sebelum pergi sekolah menjadi perpisahannya pagi itu selepas hening tadi. Tinggal gelas dan piring kosong di meja makan. Ada yang tertinggal di atas meja makan, sebuah kain sutera yang dijahitnya bersama Mama kemarin sore. Buru-buru Mama mengejar ke depan rumah, tapi bus yang ia tumpangi sudah sangat jauh.
            Motor buntut di sebelah rumah dikendarai mamanya, berharap dapat mengejar bus di depan. Langkah Mama berlari-lari menuju kelasnya. Terlihat seorang Guru tengah menjelaskan pelajaran di depan kelas. Sudah lima menit berlalu pelajaran berlangsung. Ia tak tampak di dalam kelas. Rasa kawatir Mama menjadi-jadi, Mama menemukan ia tersungkur di sudut toilet dengan napas tersengal-sengal. Obat hirup diletakkan di mulut dan hidungnya. Barulah ia pulih kembali. Belum lama, ia mimisan. Kain sutera menjadi andalan hingga berhenti pendarahan.
            Mama memeluk ia erat-erat, tak ingin kehilangan. Sudah cukup ia menderita penyakit asma dan mimisan. Jangan ditambah lagi! Pewarisan gen dari Mama turun kepadanya. Lambaian tangan Mama lebih memulihkannya untuk semangat belajar dan melawan penyakit diderita. Tak ada kata menyerah untuk berdiri lebih tegap lagi.
            Gemuruh di langit sore mengantarkan kepergian Mama. Tak percaya bahwasannya Mama pergi secepat itu. Kain sutera pemberian terakhir Mama, di mana ia menjahit pertama kalinya agar nanti bisa mengikuti jejak langkah Mama sebagai seorang tukang jahit. Kain sutera dibasahi air matanya, lalu dipeluk dalam-dalam. Penyakit asma yang diderita ternyata membuat Mama pergi selama-selamanya, namun bukan itu, lebih kepada sebuah garis takdir.
            “Kini aku siap menerima kepergian. Selamat jalan, Mama!” lambaian tangannya sebelum menjejaki langkah ke peraduan.
****
            Tak terasa air mata telah banyak terjatuh ke lantai dari tadi. Ia tak mampu menahan lagi genangan air di mata yang tadinya berbinar memasuki kelas. Mengenang pasal kejadian dua tahun lalu. Ia tak boleh menangis, ia harus tegakkan kepala. Ini bukan zaman cengeng, ini zaman kuat. Yang lalu adalah kenangan, yang ke depan adalah harapan. Hanya karena cemoohan mereka ia jatuh, tidak! Justru karena cemoohan mereka ia harus bangkit.
            Ia langkahkan kaki menuju tempat duduk paling belakang, tepat di sebelah ketua rombongan itu. Guru dan semua yang di dalam terheran dengan tingkahnya, tapi ia tersenyum manis membalas. Ia mengulurkan tangan ke teman sekeliling, semua menjabat uluran tangan dengan ramah. Seolah-olah tak ada terjadi masalah sebelumnya.
            “Mama benar. Orang jahat dan keras hanya bisa dibalas dengan lembut dan baik,” ucapnya dalam hati.
            Kain sutera menjadi bahan perhatian mereka semua selepas pelajaran usai. Bukan kain yang ia banggakan, tapi hasil jahitan, dan susah payahnya ia menjahit tanpa Mama. Banyak yang bertanya-tanya kenapa kain suteranya sangat bagus. Padahal jarang di tempat itu ditemukan sutera sebagus miliknya. Yang lain sangat ingin memiliki, sayang ia tak bisa menjawab. Karena ia sendiri tidak tahu di mana Mama mendapat kain sebagus itu.
            Jawabannya terpecahkan ketika ia tahu bahwa kain sutera itu salah satu mahar kawin Ayah waktu menikahi Mama dulu. Maka sangatlah berharga bagi Mama, dan akan lebih berharga untuknya. Setahun ia belajar menjahit di ruang tengah rumahnya untuk menyelesaikan kerudung dari kain sutera itu.       
              Kini kerudung dari kain sutera itu telah jadi. Kali ini ia lebih mengerti lagi maksud mamanya dulu. Setelah kehilangan ia harus mengerti hidup sesungguhnya. Bahwasannya hidup untuk beramal, membagikan ilmu, berbakti pada orangtua, tentunya untuk mendapat ridho dari-Nya. Juga untuk memberitahu bahwa kita berasal dari tanah, dan kembali ke dalam tanah. Tak selalu orangtua keras akan kehendaknya adalah buruk, namun lebih kepada kebaikan kita sebagai anak. Perkataan Ibu jauh lebih benar dari pikiran kita. Sebab, seorang Ibu tidak pernah salah diciptakan untuk mendidik seoarang anak.
            Ia terus pandangi mesin jahit. Karena mesin jahit dan perjuangan Mama dulu menjadikan ia hidup lebih baik  seperti sekarang. Kasih sayang dan cinta Mama ada di dalam hatinya, maka dari itu Mama tak pernah hilang baginya. Pintu terdengar diketuk seseorang dari luar. Ia membuka perlahan.
            “Apa benar ini nak Sera, anak dari Ibuk Sulaswati? Saya mau menjahit baju di sini. Kebetulan tidak ada penjahit di sekitar sini.”
            “Iya, Buk. Benar, saya sendiri Sera. Berapa kain, Buk?”
            “Sekitar 100 kain batik sutera dijahit untuk jadi seragam batik anak-anak di sekolah saya.”
            “Oh, begitu!” ujarnya sambil garuk-garuk kepala tak karuan. Rezeki selalu datang dari segala pintu. Ini mah entah rezeki atau apa.

Koran Padang Ekspres, 18 November 2015.
Cerpen Sutera pernah meraih cerpen terbaik 2 lomba dari penerbit Phoenix.

No comments:

Post a Comment