Breaking

Selamat datang di blog Rahmi Intan. Blog ini mengenai seputar karya-karya Rahmi Intan

Sunday, February 4, 2018

Senja di Peraduan (Cerpen Remaja)


“SENJA DI PERADUAN”
Oleh : Rahmi Intan

            Kuingin bercerita sedikit kepada kalian. Kenapa aku tak begitu suka senja? Sebenarnya bukan senja yang tak kusukai, tapi di balik senjanya. Kuyakin bukan aku saja yang punya cerita, kalian juga. Tentunya cerita yang kalian sajikan tak kalah menarik dariku.
            Sedikit kumenoleh ke arah barat selesai mandi. Setelah benar-benar rapi dan cantik terlihat di cermin. Barulah aku benar-benar berdiri di balik jendela menatap matahari mulai tenggelam, dan siap menjemput kelam. Warnanya begitu cerah. Memantulkan cahayanya ke laut. Mengukir gelombang garis berliku-liku. Ya, laut Sasak. Mungkin dia berada di balik bukit itu.
            Laut ini banyak diminati khalayak. Katanya indah, menarik, dan pantainya memukau. Menghipnotis banyak pengunjung. Aku sendiri belum pernah ke sana. Hanya melihat di balik jendela pantulan cahaya senja. Kelak, aku ingin bersamanya ke sana. Entah itu kapan.
            Sampai matahari benar-benar tenggelam, baru kuberanjak dan menutup jendela perlahan-lahan. Sinar kuningnya masih merambas ke arah kamar. Terlihat jelas di celah-celah jendela yang terbuat dari kayu. Membentuk sebuah kue lapis yang antara lapisan atas dengan lapisan bawah diberi celah selebar 2 cm.
            Tetap kubelai lembut angin sejuk dari fentilasi sembari masih fokus memandangi kilauan cahaya terakhir senja sampai lenyap. Senja inilah mengingatkanku padanya. Melihat indahnya sunset di laut Sasak yang kerapkali diceritakan banyak orang.
            Tersentak dari lamunan. Berlari keluar dari kamar menuju teras rumah. Kupandangi teras rumah neneknya. Baru kusadari lagi, dia tidak ada di sini. Aku lupa, dia berada di pulau Jawa—melanjutkan pendidikan. Paling tidak, dia di sini kala hari kemenangan umat Islam datang. Hari Raya Idul Fitri.
            “Ternyata hanya ilusi,” gumamku. Sebelum memasuki rumah sederhana ini. Dinding terbuat dari papan. Kata tetangga, rumahku ini sudah puluhan tahun telah berdiri. Kakek orangtuaku belum lahir, rumah ini pun sudah ada.
            Kuembuskan napas selepas mungkin. Kuambil air wudhu, dan menunaikan salat fardhu maghrib. Kembali lagi ke kamar. Kali ini mengetik naskah puisi tentang dia lagi. Maklum saja, imajinasiku tertuju padanya. Beberapa naskah puisi telah selesai sudah. Siap untuk dipajang di dinding kamar. Angin sepoi-sepoi selalu ingin membawa kertas itu terbang ke sagaranya.
****
            Senja kembali datang seperti sediakala. Kali ini berbeda dari sebelumnya. Dia ada di sini. Aku sempat tak memercayai ini semua. Berulangkali mata kusapu dengan kedua telapak tangan untuk memastikan hanya ilusi. Bukan. Itu bukan ilusi ternyata. Dia nyata di teras rumah neneknya.
Sambil kutepuk jidat, “Aduh! Besok hari raya Idul Fitri. Kenapa aku jadi pikun seperti ini. Sudah jelas Bang Arya di sini.”
Tak kusadari sepasang bola mata sedari tadi memerhatikan gerak-gerik linglungku. Yang paling membuatku tercengang, dia menyapaku dari teras rumah neneknya. Sempat kumenoleh ke sana kemari. Jari telunjuk kuarahkan ke wajahku.
“Ya, kamu. Siapa lagi?” sapanya dari balik bunga mekar yang tingginya sampai sebahu itu. Neneknya memang pecinta bunga. Batasan rumah kami hanya sederet berbagai macam bunga.
“Kapan pulang, Bang?”
“Baru saja datang. Kabar kamu baggaimana, Marwa? Sehat?”
“Alhamdulillah, sehat. Bang Arya sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah, sehat juga. Dari tadi sedang lihat apa, hayo? Lihat ke arah barat. Lihat sunset, ya?” ujarnya mengajak bercanda.
“Hhmm.. Kalau iya, kenapa memang? Bang Arya pasti juga lihat sunset, `kan?” balasku. Tersenyum.
“Tahu saja, Kamu. Sunset itu indah ternyata dari sini. Kamu lihat! Awannya seperti mengukir nama begitu.”
Sentak kuterpana. Dia jauh lebih tahu tentang sunset yang kulihat hampir setiap hari di balik jendela. “Iya. Bagus sekali! Suatu saat aku ingin ke sana bersama orang yang kusayang,” gumamku. Seperti sedang mengkhayalkan suatu perihal.
“Siapa memangnya orang yang kamu sayang?”
Terbangun dari lamunan. Aku berada di alam nyata, bukan imajinasi. Kata yang kuucap barusan pun tak kuingat sepenuhnya. Spontan aku menjadi berdiri terpaku tak berkutik.
“Marwa! Kamu baik-baik saja? Muka kamu pucat. Ya sudah. Kamu masuk ke rumah saja. Senja begini tidak baik juga untuk perempuan di luar rumah.”
“Ya sudah. Aku masuk ke dalam dulu, Bang Arya. Maaf sekali!” kuambil langkah seribu menuju rumah. Kututup rapat-rapat pintu kamar. Benarkah yang kulihat dan kudengar tadi? Namun begitu, aku rasanya berada di awang-awang. Segera mencapai bulan dan bintang di langit nan telah kelam.
Wajahnya terus terbayang di benak. Jantung berdegup kencang bak genderang mau berperang. Hati tak karuan membayangkan dia sekarang di pelupuk mata. Bukan di imajinasi. Namanya berulangkali kusebut. Berharap dia merasakan yang kurasa. Mungkin.
****
Tertegun di alam nyata. Baru kemarin rasanya dia mengajakku ke laut Sasak. Menatap pemandangan pantai lepas nan elok. Memandangi sunset di antara batu tinggi menjulang. Dia berbisik satu perihal kepadaku. Kalian tahu apa itu?
“Aku mencintaimu, Marwa. Aku inginkan kita tetap selalu seperti ini.”
Senyuman lebar terlukis di bibirku yang terlihat tidak begitu merah, tidak juga pink. Namun tetap cerah, murni tanpa dipolesi lipstik.
“Benarkah,?” tanyaku.
“Iya. Sekarang keinginanmu tercapai. Bisa ke laut Sasak ini bersama orang yang kamu sayangi.”
Aku sempat tercengang sebentar sebelum melontarkan tanda tanya. “Tahu darimana memangnya tentang orang yang aku sayang?”
“Dari hati kamu. Hehe.. Dari tingkah laku kamu, cara bicara, dan terakhir dari raut wajah cantik kamu,” ucapnya meyakinkan sembari tersenyum.
Kini, semua itu menyisakan satu serpihan di relung hati terdalam. Tak mampu berkutik mendengar kabar bahwa dia akan menikah karena dijodohkan orangtua. Aku pun jadi korban cinta. Entah ini cinta palsu atau cinta apalah. Terserah kalian mau menyebut keadaanku ini dengan sebutan apa sekarang?
“Inikah jalan terakhir hubunganku dengannya?” tanyaku dalam hati.
Belum beberapa hari. Kalian tahu apa yang terjadi lagi? Jauh meleset dari perkiraanku sebelumnya. Benarkah ini? Kutepuk wajah meyakinkan yang terjadi, menatap apa yang ada di depan mata sekarang. Belum pernah kutatap yang seperti ini. Nyaris aku akan pingsan. Kalau tak ada iman, mungkin aku sudah roboh di tengah kerumunan manusia lalulalang.
“Kenapa jadi seperti ini, Ya Allah?” ucapku dalam hati.
Senang ketika dia tak jadi menikah. Tapi jauh lebih iba hati terasa ketika dia pergi untuk selamanya. Bagai tersambar petir di siang bolong. Langit tak memberi jawaban. Apalagi senja yang kutatap saat ini.
Beginikah senja yang diimpikan semua orang? Kenapa bagiku sakit? Untuk keluar rumah pun enggan. Menjejaki langkah di peraduan. Tidurlah pilihanku satu-satunya. Membayangkan Bang Arya tengah asyik di alam sana. Sedang apa dia? Adakah dia rindu padaku?
Ibu bergumam lirih memandangiku memunggungi tempatnya berdiri. Seolah beliau mengerti maksudku berbaring di atas kasur empuk ini. Tak lain tak bukan karena kepergian Arya.
“Bangunlah, Nak! Kau takkan hidup jika seperti ini terus. Bukankah kau menginginkan menjadi musisi bersamanya, menciptakan lagu tentang senja. Wujudkanlah! Supaya dia tenang di alam sana,” ujar Ibu mengelus kepalaku lembut. Sebelum berlalu dari hadapan.
Sebelum jam lima sore, pintu jendela kututup rapat. Agar tak ada celah cahaya masuk ke dalam rumah. Begitulah, sampai kuterbiasa dengan senja kembali. Kehilangan memang. Biasanya tiap tahun dia di sini. Tahun besok tidak lagi. Hanya nisannya yang bisa kupandang.
“Semoga tenang di alam sana,” ucapku kala senja waktu itu.

Sebulan berlalu. Kalian mungkin tersenyum melihatku sekarang. Kuayunkan kaki di peraduan, terasa ringan. Tengah asyik memandang sunset, dan mengingat kejadian di balik bukit tersebut. Tiba-tiba saja terdengar suara berdentang keras. Badan yang ditabrak ambruk, begitu juga mobil mewah itu. Berbondong-bondong orang datang. Salah satu memeriksa urat nadi dan detak jantungnya. Tak berfungsi lagi. Diboyong ke rumah sakit pun percuma. Kalian tahu siapa dia? Dialah aku.

Cerpen ini lolos lomba tahun 2015. Untuk mendapatkan bukunya bisa di narahubung Penerbit Pena House.

Ilustrasi gambar diambil dari https://www.google.co.id/search?q=gambar+senja+di+peraduan+pantai+sasak&tbm=isch&source=iu&ictx=1&fir=lKSP-5DLGUKT1M%253A%252CHqMv6FZYuGneeM%252C_&usg=___oEMEFK2cjHH3b8oUQwVeh3_VNs%3D&sa=X&ved=0ahUKEwiwtKmr_ovZAhXEPY8KHRbCBQsQ9QEIODAH#imgrc=lKSP-5DLGUKT1M:

No comments:

Post a Comment