“SENJA DI PERADUAN”
Oleh : Rahmi Intan
Kuingin bercerita sedikit kepada
kalian. Kenapa aku tak begitu suka senja? Sebenarnya bukan senja yang tak kusukai,
tapi di balik senjanya. Kuyakin bukan aku saja yang punya cerita, kalian juga.
Tentunya cerita yang kalian sajikan tak kalah menarik dariku.
Sedikit kumenoleh ke arah barat
selesai mandi. Setelah benar-benar rapi dan cantik terlihat di cermin. Barulah
aku benar-benar berdiri di balik jendela menatap matahari mulai tenggelam, dan
siap menjemput kelam. Warnanya begitu cerah. Memantulkan cahayanya ke laut.
Mengukir gelombang garis berliku-liku. Ya, laut Sasak. Mungkin dia berada di
balik bukit itu.
Laut ini banyak diminati khalayak.
Katanya indah, menarik, dan pantainya memukau. Menghipnotis banyak pengunjung.
Aku sendiri belum pernah ke sana. Hanya melihat di balik jendela pantulan
cahaya senja. Kelak, aku ingin bersamanya ke sana. Entah itu kapan.
Sampai matahari benar-benar
tenggelam, baru
kuberanjak dan menutup jendela perlahan-lahan. Sinar kuningnya masih merambas
ke arah kamar. Terlihat jelas di celah-celah jendela yang terbuat dari kayu.
Membentuk sebuah kue lapis yang antara lapisan atas dengan lapisan bawah diberi
celah selebar 2 cm.
Tetap kubelai lembut angin sejuk
dari fentilasi sembari masih fokus memandangi kilauan cahaya terakhir senja
sampai lenyap. Senja inilah mengingatkanku padanya. Melihat indahnya sunset di laut Sasak yang kerapkali
diceritakan banyak orang.
Tersentak dari lamunan. Berlari keluar
dari kamar menuju teras rumah. Kupandangi teras rumah neneknya. Baru kusadari
lagi, dia tidak ada di sini. Aku lupa, dia berada di pulau Jawa—melanjutkan pendidikan. Paling tidak, dia di
sini kala hari kemenangan umat Islam datang. Hari Raya Idul Fitri.
“Ternyata hanya ilusi,” gumamku.
Sebelum memasuki rumah sederhana ini. Dinding terbuat dari papan. Kata
tetangga, rumahku ini sudah puluhan tahun telah berdiri. Kakek orangtuaku belum
lahir, rumah ini pun sudah ada.
Kuembuskan napas selepas mungkin.
Kuambil air wudhu, dan menunaikan salat fardhu maghrib. Kembali lagi ke kamar.
Kali ini mengetik naskah puisi tentang dia lagi. Maklum saja, imajinasiku
tertuju padanya. Beberapa naskah puisi telah selesai sudah. Siap untuk dipajang
di dinding kamar. Angin sepoi-sepoi selalu ingin membawa kertas itu terbang ke
sagaranya.
****
Senja kembali datang seperti
sediakala. Kali ini berbeda dari sebelumnya. Dia ada di sini. Aku sempat tak
memercayai ini semua. Berulangkali mata kusapu dengan kedua telapak tangan
untuk memastikan hanya ilusi. Bukan. Itu bukan ilusi ternyata. Dia nyata di
teras rumah neneknya.
Sambil
kutepuk jidat, “Aduh! Besok
hari
raya Idul Fitri. Kenapa aku jadi
pikun seperti ini. Sudah jelas Bang Arya di sini.”
Tak
kusadari sepasang bola mata sedari tadi memerhatikan gerak-gerik linglungku.
Yang paling membuatku tercengang, dia menyapaku dari teras rumah neneknya. Sempat
kumenoleh ke sana kemari. Jari
telunjuk kuarahkan ke wajahku.
“Ya,
kamu. Siapa lagi?” sapanya dari balik bunga mekar yang tingginya sampai sebahu
itu. Neneknya memang pecinta bunga. Batasan rumah kami hanya sederet berbagai
macam bunga.
“Kapan
pulang, Bang?”
“Baru
saja datang. Kabar kamu baggaimana, Marwa? Sehat?”
“Alhamdulillah, sehat. Bang Arya sendiri
bagaimana?”
“Alhamdulillah, sehat juga. Dari tadi sedang lihat apa, hayo? Lihat
ke arah barat. Lihat sunset, ya?”
ujarnya mengajak bercanda.
“Hhmm..
Kalau iya, kenapa memang?
Bang Arya pasti juga lihat
sunset, `kan?” balasku. Tersenyum.
“Tahu
saja, Kamu. Sunset itu
indah ternyata dari sini. Kamu lihat!
Awannya
seperti mengukir nama begitu.”
Sentak
kuterpana. Dia jauh lebih tahu tentang sunset
yang kulihat hampir setiap hari di balik jendela. “Iya. Bagus sekali! Suatu saat aku ingin
ke sana bersama orang yang kusayang,” gumamku. Seperti sedang mengkhayalkan
suatu perihal.
“Siapa
memangnya orang yang
kamu sayang?”
Terbangun
dari lamunan. Aku berada di alam nyata, bukan imajinasi. Kata yang kuucap
barusan pun tak kuingat sepenuhnya. Spontan aku menjadi berdiri terpaku tak
berkutik.
“Marwa!
Kamu baik-baik saja?
Muka kamu pucat. Ya sudah. Kamu masuk ke rumah saja.
Senja
begini tidak baik juga untuk perempuan di luar rumah.”
“Ya
sudah. Aku masuk ke dalam dulu, Bang Arya. Maaf sekali!” kuambil langkah seribu menuju rumah.
Kututup rapat-rapat pintu kamar. Benarkah yang kulihat dan kudengar tadi? Namun
begitu, aku rasanya berada di awang-awang. Segera mencapai bulan dan bintang di
langit nan telah kelam.
Wajahnya
terus terbayang di benak. Jantung berdegup kencang bak genderang mau berperang.
Hati tak karuan membayangkan dia sekarang di pelupuk mata. Bukan di imajinasi.
Namanya berulangkali kusebut. Berharap dia merasakan yang kurasa. Mungkin.
****
Tertegun
di alam nyata. Baru kemarin rasanya dia mengajakku ke laut Sasak. Menatap pemandangan pantai
lepas nan elok. Memandangi
sunset di antara batu tinggi menjulang.
Dia berbisik satu perihal kepadaku. Kalian tahu apa itu?
“Aku
mencintaimu, Marwa. Aku inginkan kita tetap selalu seperti ini.”
Senyuman
lebar terlukis di bibirku yang terlihat tidak begitu merah, tidak juga pink.
Namun tetap cerah, murni tanpa dipolesi lipstik.
“Benarkah,?”
tanyaku.
“Iya.
Sekarang keinginanmu tercapai.
Bisa ke laut Sasak ini bersama orang yang kamu sayangi.”
Aku
sempat tercengang sebentar sebelum melontarkan tanda tanya. “Tahu darimana memangnya tentang orang yang aku
sayang?”
“Dari
hati kamu. Hehe.. Dari tingkah laku kamu, cara bicara, dan terakhir dari raut
wajah cantik kamu,” ucapnya meyakinkan sembari tersenyum.
Kini,
semua itu menyisakan satu serpihan di relung hati terdalam. Tak mampu berkutik
mendengar kabar bahwa dia akan menikah karena dijodohkan orangtua. Aku pun jadi
korban cinta. Entah ini cinta palsu atau cinta apalah. Terserah kalian mau
menyebut keadaanku ini dengan sebutan apa sekarang?
“Inikah
jalan terakhir hubunganku dengannya?” tanyaku dalam hati.
Belum
beberapa hari. Kalian tahu apa yang terjadi lagi? Jauh meleset dari perkiraanku
sebelumnya. Benarkah ini? Kutepuk wajah meyakinkan yang terjadi, menatap apa
yang ada di depan mata sekarang. Belum pernah kutatap yang seperti ini. Nyaris
aku akan pingsan. Kalau tak ada iman, mungkin aku sudah roboh di tengah
kerumunan manusia lalulalang.
“Kenapa
jadi seperti ini, Ya Allah?” ucapku dalam hati.
Senang
ketika dia tak jadi menikah. Tapi jauh lebih iba hati terasa ketika dia pergi
untuk selamanya. Bagai tersambar petir di siang bolong. Langit tak memberi
jawaban. Apalagi senja yang kutatap saat ini.
Beginikah
senja yang diimpikan semua orang? Kenapa bagiku sakit? Untuk keluar rumah pun
enggan. Menjejaki langkah di peraduan. Tidurlah pilihanku satu-satunya.
Membayangkan Bang Arya tengah asyik di alam sana. Sedang apa dia? Adakah dia
rindu padaku?
Ibu
bergumam lirih memandangiku memunggungi tempatnya berdiri. Seolah beliau mengerti
maksudku berbaring di atas kasur empuk ini. Tak lain tak bukan karena kepergian
Arya.
“Bangunlah,
Nak! Kau takkan hidup jika seperti ini terus. Bukankah kau menginginkan menjadi
musisi bersamanya, menciptakan lagu tentang senja. Wujudkanlah! Supaya dia
tenang di alam sana,” ujar Ibu mengelus kepalaku lembut. Sebelum berlalu dari
hadapan.
Sebelum
jam lima sore, pintu jendela kututup
rapat. Agar tak ada celah cahaya masuk ke dalam rumah. Begitulah, sampai kuterbiasa
dengan senja kembali. Kehilangan memang. Biasanya tiap tahun dia di sini. Tahun
besok tidak lagi. Hanya nisannya yang bisa kupandang.
“Semoga
tenang di alam sana,” ucapku kala senja waktu itu.
Sebulan
berlalu. Kalian mungkin tersenyum melihatku sekarang. Kuayunkan kaki di
peraduan, terasa ringan. Tengah asyik memandang sunset, dan mengingat kejadian di balik bukit tersebut. Tiba-tiba
saja terdengar suara berdentang keras. Badan yang ditabrak ambruk, begitu juga
mobil mewah itu. Berbondong-bondong orang datang. Salah satu memeriksa urat
nadi dan detak jantungnya. Tak berfungsi lagi. Diboyong ke rumah sakit pun
percuma. Kalian tahu siapa dia? Dialah aku.
Cerpen ini lolos lomba tahun 2015. Untuk mendapatkan bukunya bisa di narahubung Penerbit Pena House.
Ilustrasi gambar diambil dari https://www.google.co.id/search?q=gambar+senja+di+peraduan+pantai+sasak&tbm=isch&source=iu&ictx=1&fir=lKSP-5DLGUKT1M%253A%252CHqMv6FZYuGneeM%252C_&usg=___oEMEFK2cjHH3b8oUQwVeh3_VNs%3D&sa=X&ved=0ahUKEwiwtKmr_ovZAhXEPY8KHRbCBQsQ9QEIODAH#imgrc=lKSP-5DLGUKT1M:
No comments:
Post a Comment