Breaking

Selamat datang di blog Rahmi Intan. Blog ini mengenai seputar karya-karya Rahmi Intan

Tuesday, January 23, 2018

Awan Mendung di Atas Atap



AWAN MENDUNG DI ATAS ATAP
Oleh : Rahmi Intan

Ia lebih banyak menghabiskan waktu di depan mesin jahit. Tangannya menari-nari ke sana kemari sembari memegang kain. Sejak berhenti kerja sebagai pelayan rumah makan satu tahun lalu, menuntut untuk berjuang mati-matian demi putri satu-satunya. Ditambah suami telah tiada. Meninggal dunia empat tahun lalu.
            Keringat di dahi sesekali diseka. Mata mulai sedikit rabun membuatnya susah untuk menjahit kain. Hanya kacamata yang dapat membantu kerja sehari-hari. Anaknya lebih memilih di dapur. Kadangkala duduk di sampingnya, menengok setiap tarian tangan di atas kain. Mulailah mesin jahit berbunyi-bunyi.
             Suatu ketika takdir memertemukan anaknya dengan seorang laki-laki. Rupawan, gagah, saleh, dan sopan santun terjaga. Sangat beruntung sekali di usia dua puluh tahun ada orang yang akan meminang anaknya. Biasanya umur tiga puluh tahun belum jua dapat jodoh. Anaknya tak punya pilihan lain selain menerima, dikarenakan kuliah tak mampu ekonomi, dan bekerja di rantau orang tak kuat mental.
            Jadilah anaknya sekarang menjadi seorang istri. Ia beserta anak dan menantu tinggal dalam satu atap. Permintaan ia kepada menantu, agar ia dapat selalu melihat anaknya. Berhubung ia juga tinggal sendiri di rumah lumayan besar ituketakutan kerapkali menghantui. Takut suatu ketika maling tiba-tiba menyelinap ke dalam rumah.
Ia juga menyediakan kedai kecil-kecilan untuk anaknya. Modal usaha diberikan agar anaknya tak hanya berdiam diri di rumah. Jika kelak kesusahan melanda menantunya, maka kedai kecil itulah yang dapat membantu mereka, pikirnya. Walau ekonomi di zaman sekarang susah. Tak salah kalau dicoba dulu buka usaha kedai. Manatahu, rezeki baik berpihak pada anaknya. Tidak menyusahkan suami di kala sibuk maupun senggang.
Hari-hari pun dilalui. Kedai anaknya semakin lama semakin banyak pengunjung. Ada yang belanja sesaat, ada yang hanya duduk bersenda gurau, dan ada juga yang sekadar minum kopi. Kedai sedikit diperluas agar pengunjung nyaman memandang. Dari situlah anaknya mulai mengenal teman. Setiap hari pengunjung berbeda-beda. Hanya Lasti dan Ena pengunjung setia. Rumah mereka berdekatan, hanya lalulintas pembatas.
Ia tersenyum senang memandangi anaknya mulai sukses. Seperti menjelang sore hari itu. Lasti dan Ena telah duduk di kedai anaknya. Lasti memang terkesan sedikit cerewet, beda dengan Ena yang sedikit pendiam.
“Kedaimu banyak pengunjung, Larma. Baru satu bulan sudah ramai.”
“Kapan-kapan kau datanglah ke rumahku. Supaya pertemanan kita langgeng,” ketus Ena.
Larma hanya diam mengangguk. Seakan Larma menerima pertemanan baru dari orang yang lama dikenal. Kedai tak cukup hanya berisikan itu-itu saja. Ditambahlah makanan serba-serbi di pajang setiap sudut kedai.
****
            Waktu silih berganti, telah dua tahun anaknya berumah tangga. Kedai yang tadinya kecil, kini menjadi swalayan cukup besar. Anaknya sering menghabiskan waktu di luar rumah, ketimbang menemani ia di rumah. Paling tidak, anaknya di rumah hanya malam hari saja.
            Seperti malam itu, anaknya pulang bersama menantunya. Anaknya terlihat sedikit jalan sempoyongan. Suami pun tak dihiraukan. Karena hal sepele, emosi anaknya tak terkendali. Kata-kata tak diinginkan pun keluar dari mulut. Anaknya tidak hanya berani membantah kata suami, tapi juga berani membantah katanya.
            “Apa yang menjadikanmu seperti ini, Nak? Lihatlah dirimu sekarang! Kau akan berdosa bila kau melawan pada suamimu.”
            Perkataan itu tak dihiraukan. Anaknya tetap berlalu ke kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur empuk.
            “Jangan diambil hati perlakuan anakku! Cobalah bicara baik-baik dengannya.”
            Siang pun menjemput sore, matahari mulai ke arah barat. Penampilan Larma terlihat bagus sekali. Duduklah mereka bertiga di depan rumah Larma. Kali ini, Larma lebih cerewet dibanding Lasti. Setiap orang lewat di hadapannya, akan ada-ada saja topik baru, yang pakaian tidak menariklah, cara berjalanlah seperti orang sombong, perhiasan baru yang berkemilaulah, dan banyak lainnya.
            Sesekali Larma memegangi leher, melihat kalung emas baru. Berharap kedua rekan di samping bisa memandangi kalung mahal itu. Lasti dan Ena sudut mata melirik ke arah leher Larma. Namun, komentar tak jua dilontarkan. Nampaknya Larma sedikit kesal. Di balik jendela ia hanya memerhatikan gerak-gerik putrinya.
            Belum juga selesai, mereka bertiga terus menengok setiap orang yang lewat. Hanya bisa menengok semut di seberang jalan, gajah di pelupuk mata pun tak nampak. Tak pernahlah mereka tengok ke dalam bagaimana mereka sesungguhnya. Teras rumah menjadi saksi bisu ucapan mereka.
            Adzan pun memisahkan mereka. Pulang ke rumah masing-masing. Biasanya Larma langsung masuk rumah. Kali ini Larma menghitung uang di tempat kasir. Seruan adzan pun tak dihiraukan.
            “Salatlah, Nak! Kaubisa menghitung uang nanti.”
            “Sebentar lagi.”
            “Uang bukan segalanya! Ada yang tak bisa diukur dengan uang.”
            Meledaklah amarah anaknya. Pintu kedai dibiarkan terbuka, anaknya membawa uang yang telah dihitung ke dalam kamar. Meninggalkan ia yang tegak sendiri menatap langkah demi langkah anaknya. Belum beberapa saat, terdengarlah anaknya mual-mual. Dokter dipanggil seketika itu ke rumah untuk memastikan apa yang terjadi. Tak lupa menantu ditelpon, menyuruh cepat kembali dari kerja.
             Beberapa menit setelah diperiksa. Duduklah mereka semua menghadap dokter. Mendengarkan penjelasan mengenai yang terjadi pada anaknya. Perasaan bercampur aduk ia rasakan. Belum pernah kejadian ini terjadi sebelumnya.
            “Ibuk Larma hamil dua bulan.”
            Tercenganglah ia beserta anak dan menantunya dengan kabar sukacita itu. Bagaimana bisa sudah dua tahun mereka menikah, baru hamil sekarang. Rezeki memang datang semaunya dan tak bisa ditolak. Sebab telah diatur. Itu artinya Larma harus banyak istirahat di kehamilan muda. Tak boleh banyak bergerak ke sana kemari seperti sediakala.
            Larma sering menghabiskan waktu di teras rumah, di temani Lasti dan Ena. Kadang ia berusaha untuk membujuk Larma agar tidak terlalu bergaul dan berbicara asal-asalan. Mengingat Larma sedang hamil, akan banyak pantangan. Larma hanya bisa membantah dan tak menghiraukan.
            Suatu hari, belanjalah seorang pemudi berhijab bersama pemuda ke swalayan Larma. Dipandangilah oleh mereka bertiga pemudi tersebut saksama dari ujung rambut sampai ujung kaki.
            “Paling jilbab untuk menutupi kedoknya. Membawa pemuda lagi. Pacaran ya, pacaran. Lebih baik buka jilbab,” ucap Larma.
            “Zaman sekarang memang begitu. Perempuan dan laki-laki tak ada batasan,” ketus Lasti.
            Tanpa disadari mereka tak tahu kalau pemudi tersebut mendengar ucapan mereka, dan memerhatikan lewat kaca di sudut ruangan. Hanya bisa geleng-geleng kepala dengan situasi. Mereka tak tahu saja kalau pemuda itu abang kandung pemudi tersebut.
            Tibalah pemudi itu di kasir—membayar belanjaan. Sindiran sesekali dilontarkan Larma. Tak peduli status sebenarnya pemudi dengan pemuda itu. Hanya diamlah pilihan pemudi tersebut. Tak ada gunanya melawan orang yang tak tahu apa itu omongan sendiri.
            “Masih menstruasi, Dek? Haha,” ujar Larma. Diikuti tertawa kecil Lasti dan Ena.
            “Jaga kandunganmu, Tante! Oh iya, kalau berjilbab tutuplah dada. Agar kepala dan hati sinkron terjaga,” jawab pemudi itu. Berlalu.
            Spontan Larma terdiam tak berkutik mendengar ucapan pemudi tersebut. Lasti dan Ena plongok-plongok tak karuan, seperti mati kutu.
            Langit-langit rumah sakit terlihat samar-samar. Tak terasa sembilan bulan anaknya mengandung. Kini melahirkan seorang bayi perempuan mungil. Cucunya digendong-gendong setiap saat. Kebahagiaan tiada tara untuknya. Begitu juga mertua Larma, hadir lebih awal di rumah sakit memantau kondisi.
            Sampai dokter menyuruh istirahat di rumah, barulah ia berserta keluarga pulang ke rumah. Rumah semakin ramai dengan kehadiran cucu pertamanya. Setiap detik, menit, jam, bahkan berhari-hari ia mengurus cucunya. Lantas membuat Larma lepas tangan terhadap bayi itu. Larma sesekali menengok bayi, ASI pun tak diberikan. Yang Larma tahu hanya swalayan yang semakin hari semakin laris.
****
            Selang waktu berlalu. Cucunya kini telah remaja, duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas tiga. Ia berharap ada perbedaan antara cucu dan anaknya. Tidak mengikuti jejak langkah anaknya yang hanya bisa mengumbar-umbar aib orang lain. Ia melihat itu tak tampak pada diri cucunya.
            Sebentar lagi akan diadakan ujian nasional. Persiapan cucunya harus matang. Biasanya belajar dua jam sehari, sekarang mesti belajar giat. Anak dan cucunya semakin akrab. Larma membawa Alza ke mana pun. Membelikan apa yang diinginkan Alza. Sebelum ujian, Larma membelikan obat yang bisa membuat cerdas untuk Alza, agar soal ujian mudah dijawab.
Malam itu suara di dalam rumah memecah keheningan. Tak biasanya Alza pulang larut malam. Kegelisahan melandanya serta menantu dan anaknya. Buru-buru motor dikendarai menuju sekolah Alza. Tak dilihat seorang siswa pun di sana. Satpam pun tak ada, gerbang dikunci dengan gembok besar.
            Empat hari tak ada kabar Alza. Padahal hari itu terakhir ujian nasional. Phone cell cucunya tak bisa dihubungi. Gemparlah seisi kampung tentang hilangnya Alza. Ke sana kemari orang berbicara perihal cucunya. Lasti dan Ena yang tadinya sering berkunjung, kini enggan menjejaki kaki ke rumah Larma. Sesekali ia melirik ke rumah Lasti. Ia terus memerhatikan gerak-gerik teman anaknya itu dari balik jendela setiap hari. Memang betul mereka tengah membicarakan anak dan cucunya.
            Malam itu, pintu rumah diketuk seseorang. Ia membuka pintu. Dilihatnyalah Alza berdiri. Rasa penasaran terobati. Hingga satu jam Alza diwawancarai oleh ia, Larma, dan menantunya. Alza menjawab santai, seakan tak ada yang terjadi; tak ada yang salah.
            Esoknya Alza meminta izin berlibur setelah kelulusan. Awalnya ia canggung memberi izin. Melihat cucunya merengek ia perbolehkan saja. Anak dan menantunya juga menurut pada kehendak Alza. Dengan berjanji pulang tepat waktu. Pergilah Alza dan teman-teman sebaya.
            Kali ini, satu minggu tak ada kabar Alza. Semua teman-teman telah ia tanyai perihal ke mana Alza. Tak ada yang tahu ke mana pergi cucunya. Terjawablah semuanya sore itu, Alza pulang sendirian. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan di rumah itu. Terucaplah kata-kata memilukan hatinya bahwasan cucunya tengah hamil empat bulan. Sangat terguncang semua perasaannya. Bagaimana mungkin cucunya seperti itu, sedang cucunya selalu berdiam diri di dalam kamar.
            Pagi itu tak tampak Larma keluar kamar. Sedang menantunya telah pergi kerja lebih awal. Sampai sore pun Larma tak keluar. Ia dan Alza keheranan. Didobraklah pintu dengan kayu. Pemandangan mengerikan terlihat, Larma gantung diri. Dua rahasia harus berusaha ia tutupi dari warga pasal kejadian yang menimpa.
            Seberusaha apa pun menutupi, namun yang bangkai tetap jua tercium. Warga tahu Larma tidak dibunuh, melainkan bunuh diri. Kini ia mendekam di dalam rumah bersama cucunya. Tak mampu keluar menghadapi cacian sekitar. Belum lagi kandungan cucunya yang semakin membesar.
Teringatlah olehnya perkataan seorang pemudi terhadap anaknya. Sebaya dengan cucunya. Sebelum musibah menimpali.
Berubahlah selagi ada waktu! Jika tidak, cacianmu akan berbalik ke dirimu.

Menangislah ia sejadi-jadinya di atas kasur. Kalau tak ia manjakan anak dan cucunya, tak akan jadi begini nasib hidupnya. Itulah kesalahan masalampau. Nasi telah menjadi bubur. Kerikil enggan menjadi batu besar kembali. Berharap esok bisa memberi jawaban atas sakit yang diderita; ada sedikit pilu terobati jadi kebahagiaan. Seluruh hidup terlanjur ia berikan untuk orang-orang yang disayang. Jurang selalu menunggu kehadirannya. Ia tetap kuatkan demi cucu dan cicitnya kelak. Awan mendung di atas atap tak jua lenyah.

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semoga bermanfaat. Ambil baiknya, buang buruknya.

Ilustrasi gambar dari : https://www.google.co.id/

No comments:

Post a Comment