AWAN MENDUNG DI ATAS
ATAP
Oleh : Rahmi Intan
Ia
lebih banyak menghabiskan waktu di depan mesin jahit. Tangannya menari-nari ke
sana kemari sembari memegang kain. Sejak berhenti kerja sebagai pelayan rumah
makan satu tahun lalu, menuntut untuk berjuang mati-matian demi putri
satu-satunya. Ditambah suami telah tiada. Meninggal dunia empat tahun lalu.
Keringat di dahi sesekali diseka.
Mata mulai sedikit rabun membuatnya susah untuk menjahit kain. Hanya kacamata
yang dapat membantu kerja sehari-hari. Anaknya lebih memilih di dapur.
Kadangkala duduk di sampingnya, menengok setiap tarian tangan di atas kain.
Mulailah mesin jahit berbunyi-bunyi.
Suatu ketika takdir memertemukan anaknya
dengan seorang laki-laki. Rupawan, gagah, saleh, dan sopan santun terjaga.
Sangat beruntung sekali di usia dua puluh tahun ada orang yang akan meminang
anaknya. Biasanya umur tiga puluh tahun belum jua dapat jodoh. Anaknya tak
punya pilihan lain selain menerima, dikarenakan
kuliah tak mampu ekonomi, dan bekerja di rantau orang tak kuat mental.
Jadilah anaknya sekarang menjadi
seorang istri. Ia beserta anak dan menantu tinggal dalam satu atap. Permintaan
ia kepada menantu, agar ia dapat selalu melihat anaknya. Berhubung ia juga
tinggal sendiri di rumah lumayan besar itu—ketakutan kerapkali menghantui. Takut suatu ketika
maling tiba-tiba menyelinap ke dalam rumah.
Ia
juga menyediakan kedai kecil-kecilan untuk anaknya. Modal usaha diberikan agar anaknya
tak hanya berdiam diri di rumah. Jika kelak kesusahan melanda menantunya, maka
kedai kecil itulah yang dapat membantu mereka, pikirnya. Walau ekonomi di zaman
sekarang susah. Tak salah kalau dicoba dulu buka usaha kedai. Manatahu, rezeki
baik berpihak pada anaknya. Tidak menyusahkan suami di kala sibuk maupun
senggang.
Hari-hari
pun dilalui. Kedai anaknya semakin lama semakin banyak pengunjung. Ada yang
belanja sesaat, ada yang hanya duduk bersenda gurau, dan ada juga yang sekadar
minum kopi. Kedai sedikit diperluas agar
pengunjung nyaman memandang. Dari situlah anaknya mulai mengenal teman. Setiap
hari pengunjung berbeda-beda. Hanya Lasti dan Ena pengunjung setia. Rumah
mereka berdekatan, hanya lalulintas pembatas.
Ia
tersenyum senang memandangi anaknya mulai sukses. Seperti
menjelang sore hari itu. Lasti dan Ena telah duduk di kedai anaknya. Lasti
memang terkesan sedikit cerewet, beda dengan Ena yang sedikit pendiam.
“Kedaimu
banyak pengunjung, Larma. Baru satu bulan sudah ramai.”
“Kapan-kapan
kau datanglah ke rumahku. Supaya pertemanan kita langgeng,” ketus Ena.
Larma
hanya diam mengangguk. Seakan Larma menerima pertemanan baru dari orang yang
lama dikenal. Kedai tak cukup hanya berisikan itu-itu saja. Ditambahlah makanan
serba-serbi di pajang setiap sudut kedai.
****
Waktu silih berganti, telah dua
tahun anaknya berumah tangga. Kedai yang tadinya kecil, kini menjadi swalayan
cukup besar. Anaknya sering menghabiskan waktu di luar rumah, ketimbang
menemani ia di rumah. Paling tidak, anaknya di rumah hanya malam hari saja.
Seperti malam itu, anaknya pulang
bersama menantunya. Anaknya terlihat sedikit jalan sempoyongan. Suami pun tak
dihiraukan. Karena hal sepele, emosi anaknya tak terkendali. Kata-kata tak
diinginkan pun keluar dari mulut. Anaknya tidak hanya berani membantah kata
suami, tapi juga berani membantah katanya.
“Apa yang menjadikanmu seperti ini,
Nak? Lihatlah dirimu sekarang! Kau akan berdosa bila kau melawan pada suamimu.”
Perkataan itu tak dihiraukan.
Anaknya tetap berlalu ke kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur empuk.
“Jangan diambil hati perlakuan
anakku! Cobalah bicara baik-baik dengannya.”
Siang pun menjemput sore, matahari mulai
ke arah barat. Penampilan Larma terlihat bagus sekali.
Duduklah mereka bertiga di depan rumah Larma. Kali ini, Larma lebih cerewet
dibanding Lasti. Setiap orang lewat di hadapannya, akan ada-ada saja topik baru, yang
pakaian tidak menariklah, cara berjalanlah seperti orang sombong, perhiasan
baru yang berkemilaulah, dan banyak lainnya.
Sesekali Larma memegangi leher,
melihat kalung emas baru. Berharap kedua rekan di samping bisa memandangi
kalung mahal itu. Lasti dan Ena sudut mata
melirik ke arah leher Larma. Namun, komentar tak jua dilontarkan. Nampaknya Larma
sedikit kesal. Di balik jendela ia hanya memerhatikan gerak-gerik putrinya.
Belum juga selesai, mereka bertiga
terus menengok setiap orang yang lewat. Hanya bisa menengok semut di seberang
jalan, gajah di pelupuk mata pun tak nampak. Tak pernahlah mereka tengok ke
dalam bagaimana mereka sesungguhnya. Teras rumah menjadi saksi bisu ucapan
mereka.
Adzan pun memisahkan mereka. Pulang
ke rumah masing-masing. Biasanya Larma langsung masuk rumah. Kali ini Larma
menghitung uang di tempat kasir. Seruan adzan pun tak dihiraukan.
“Salatlah, Nak! Kaubisa menghitung
uang nanti.”
“Sebentar lagi.”
“Uang bukan segalanya! Ada yang tak
bisa diukur dengan uang.”
Meledaklah amarah anaknya. Pintu
kedai dibiarkan terbuka, anaknya membawa uang yang telah dihitung ke dalam
kamar. Meninggalkan ia yang tegak sendiri menatap langkah demi langkah anaknya.
Belum beberapa saat, terdengarlah anaknya mual-mual. Dokter dipanggil seketika
itu ke rumah untuk memastikan apa yang terjadi. Tak lupa menantu ditelpon,
menyuruh cepat kembali dari kerja.
Beberapa menit setelah diperiksa. Duduklah
mereka semua menghadap dokter. Mendengarkan penjelasan mengenai yang terjadi
pada anaknya. Perasaan bercampur aduk ia rasakan. Belum pernah kejadian ini
terjadi sebelumnya.
“Ibuk Larma hamil dua bulan.”
Tercenganglah ia beserta anak dan
menantunya dengan kabar sukacita itu. Bagaimana bisa sudah dua tahun mereka
menikah, baru hamil sekarang. Rezeki memang datang semaunya dan tak bisa
ditolak. Sebab telah diatur. Itu artinya Larma
harus banyak istirahat di kehamilan muda. Tak boleh banyak bergerak ke sana
kemari seperti sediakala.
Larma sering menghabiskan waktu di
teras rumah, di temani Lasti dan Ena. Kadang ia berusaha untuk membujuk Larma
agar tidak terlalu bergaul dan berbicara asal-asalan. Mengingat Larma sedang
hamil, akan banyak pantangan. Larma hanya bisa membantah dan tak menghiraukan.
Suatu hari, belanjalah seorang
pemudi berhijab bersama pemuda ke swalayan Larma.
Dipandangilah oleh mereka bertiga pemudi tersebut saksama dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
“Paling jilbab untuk menutupi
kedoknya. Membawa pemuda lagi. Pacaran ya, pacaran. Lebih baik buka jilbab,”
ucap Larma.
“Zaman sekarang memang begitu.
Perempuan dan laki-laki tak ada batasan,” ketus Lasti.
Tanpa disadari mereka tak tahu kalau
pemudi tersebut mendengar ucapan mereka, dan memerhatikan lewat kaca di sudut
ruangan. Hanya bisa geleng-geleng kepala dengan situasi. Mereka tak tahu saja
kalau pemuda itu abang kandung pemudi tersebut.
Tibalah pemudi itu di kasir—membayar belanjaan. Sindiran sesekali dilontarkan
Larma. Tak peduli status sebenarnya pemudi dengan pemuda itu. Hanya diamlah
pilihan pemudi tersebut. Tak ada gunanya melawan orang yang tak tahu apa itu
omongan sendiri.
“Masih menstruasi, Dek? Haha,” ujar Larma.
Diikuti tertawa kecil Lasti dan Ena.
“Jaga kandunganmu, Tante! Oh iya,
kalau berjilbab tutuplah dada. Agar kepala dan hati sinkron terjaga,” jawab
pemudi itu. Berlalu.
Spontan Larma terdiam tak berkutik
mendengar ucapan pemudi tersebut. Lasti dan Ena plongok-plongok tak karuan,
seperti mati kutu.
Langit-langit rumah sakit terlihat
samar-samar. Tak terasa sembilan bulan anaknya mengandung. Kini melahirkan
seorang bayi perempuan mungil. Cucunya digendong-gendong setiap saat.
Kebahagiaan tiada tara untuknya. Begitu juga mertua Larma, hadir lebih awal di
rumah sakit memantau kondisi.
Sampai dokter menyuruh istirahat di
rumah, barulah ia berserta keluarga pulang ke rumah. Rumah semakin ramai dengan
kehadiran cucu pertamanya. Setiap detik, menit, jam, bahkan berhari-hari ia
mengurus cucunya. Lantas membuat Larma lepas tangan terhadap bayi itu. Larma
sesekali menengok bayi, ASI pun tak diberikan. Yang Larma tahu hanya swalayan
yang semakin hari semakin laris.
****
Selang waktu berlalu. Cucunya kini
telah remaja, duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas tiga. Ia berharap
ada perbedaan antara cucu dan anaknya. Tidak mengikuti jejak langkah anaknya
yang hanya bisa mengumbar-umbar aib orang
lain. Ia melihat itu tak tampak pada diri cucunya.
Sebentar lagi akan diadakan ujian
nasional. Persiapan cucunya harus matang. Biasanya belajar dua jam sehari,
sekarang mesti belajar giat. Anak dan cucunya semakin akrab. Larma membawa Alza
ke mana pun. Membelikan apa yang diinginkan Alza. Sebelum ujian, Larma
membelikan obat yang bisa membuat cerdas untuk Alza, agar
soal ujian mudah dijawab.
Malam
itu suara di dalam rumah memecah keheningan. Tak biasanya Alza pulang larut
malam. Kegelisahan melandanya serta menantu dan anaknya. Buru-buru motor
dikendarai menuju sekolah Alza. Tak dilihat seorang siswa pun di sana. Satpam
pun tak ada, gerbang dikunci dengan gembok besar.
Empat hari tak ada kabar Alza.
Padahal hari itu terakhir ujian nasional. Phone
cell cucunya tak bisa dihubungi. Gemparlah seisi kampung tentang hilangnya
Alza. Ke sana kemari orang berbicara perihal cucunya. Lasti dan Ena yang
tadinya sering berkunjung, kini enggan menjejaki kaki ke rumah Larma. Sesekali
ia melirik ke rumah Lasti. Ia terus memerhatikan gerak-gerik teman anaknya itu
dari balik jendela setiap hari. Memang betul mereka tengah membicarakan anak
dan cucunya.
Malam itu, pintu rumah diketuk
seseorang. Ia membuka pintu. Dilihatnyalah Alza berdiri. Rasa penasaran
terobati. Hingga satu jam Alza diwawancarai oleh ia, Larma, dan menantunya.
Alza menjawab santai, seakan tak ada yang terjadi; tak ada yang salah.
Esoknya Alza meminta izin berlibur
setelah kelulusan. Awalnya ia canggung memberi izin. Melihat cucunya merengek
ia perbolehkan saja. Anak dan menantunya juga menurut pada kehendak Alza.
Dengan berjanji pulang tepat waktu. Pergilah Alza dan teman-teman sebaya.
Kali ini, satu minggu tak ada kabar
Alza. Semua teman-teman telah ia tanyai perihal ke mana Alza. Tak ada yang tahu
ke mana pergi cucunya. Terjawablah semuanya sore itu, Alza pulang sendirian.
Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan di rumah itu. Terucaplah kata-kata
memilukan hatinya bahwasan cucunya tengah hamil empat
bulan. Sangat terguncang semua perasaannya. Bagaimana mungkin cucunya seperti
itu, sedang cucunya selalu berdiam diri di dalam kamar.
Pagi itu tak tampak Larma keluar
kamar. Sedang menantunya telah pergi kerja lebih awal. Sampai sore pun Larma
tak keluar. Ia dan Alza keheranan. Didobraklah pintu dengan kayu. Pemandangan
mengerikan terlihat, Larma gantung diri. Dua rahasia harus berusaha ia tutupi
dari warga pasal kejadian yang menimpa.
Seberusaha apa pun menutupi, namun
yang bangkai tetap jua tercium. Warga tahu Larma tidak dibunuh, melainkan bunuh
diri. Kini ia mendekam di dalam rumah bersama cucunya. Tak mampu keluar
menghadapi cacian sekitar. Belum lagi kandungan cucunya yang semakin membesar.
Teringatlah
olehnya perkataan seorang pemudi terhadap anaknya. Sebaya dengan cucunya.
Sebelum musibah menimpali.
Berubahlah selagi ada waktu! Jika
tidak, cacianmu akan berbalik ke dirimu.
Menangislah
ia sejadi-jadinya di atas kasur. Kalau tak ia manjakan anak dan cucunya, tak
akan jadi begini nasib hidupnya. Itulah kesalahan masalampau. Nasi telah
menjadi bubur. Kerikil enggan menjadi batu besar kembali. Berharap esok bisa
memberi jawaban atas sakit yang diderita; ada sedikit pilu terobati jadi
kebahagiaan. Seluruh hidup terlanjur ia berikan untuk orang-orang yang
disayang. Jurang selalu menunggu kehadirannya. Ia tetap kuatkan demi cucu dan
cicitnya kelak. Awan mendung di atas atap tak jua lenyah.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Semoga bermanfaat. Ambil baiknya, buang buruknya.
Ilustrasi gambar dari : https://www.google.co.id/
No comments:
Post a Comment