Melalui
Lagu dan Gitar Ini
Oleh : Rahmi Intan
“Tenggelam
dalam gelap, sendiri tak berkawan, merindui bayang semu yang jauh di pulau
seberang. Ho ho ho ho ho ho, ho ho ho ho ho ho. Merindu kekasih halal, suatu
saat berjumpa kembali, rindu pilu kutahan selalu.”
Lagu itu terus ia nyanyikan di teras
apartemen lantai dua. Tak jemu ia pandangi langit berbinar yang menyapa dengan
cahaya terang. Rindu di hati terus mengalir. Ia menangkap bayangan orang yang
dirindui melalui denting gitar, diiringi suara merdu keluar dari mulutnya.
Perlahan-lahan denting gitar mulai hilang. Semilir angin menggantikan alunan
musik merdu. Kini ia berada di ruang bawah tanah. Di mana hanya ada alat-alat
musik berjejeran, begitu juga pernak-pernik lainnya. Ia ingat sekali kenangan
bersama perempuan itu di sini, perempuan yang sangat dirindui hingga saat ini.
Sayangnya, rindu ini terlalu sulit untuk diungkapkan.
“Rindukan aku saat kau memetik tali
gitar. Mungkin di saat itu aku bisa merasakan lagumu. Tunggu aku kembali!” ucap
perempuan itu sebelum berangkat jauh ke pulau seberang.
Kata itu masih jelas terngiang di
telinga. Bagaimana tidak, ia dan perempuan itu dipertemukan di sebuah audisi
menyanyi tahun lalu. Ia menjabatkan tangan kepada perempuan itu di antara
seribu perempuan lain sempurna. Hatinya terpaut padu dianugerahkan
Allah kepada perempuan yang menurutnya kekasih halal nanti.
Anugerahku adalah menahan rindu kepada orang
yang kucintai. Pun rindu itu nantinya bisa membuatku hidup. Terkadang aku juga
lemah pada rindu ini, namun kesempurnaan cintanya membuatku tegak kembali.
Lewat lagu ini, kutitip salam padanya.
Bel dari
balik pintu apartemen terdengar berbunyi. Bergegas ia ke ruang atas menuju
pintu masuk utama. Terlihat seseorang sedang membawa banyak barang. Di tangan
kanan: tas, dan di
tangan kiri: makanan. Cepat orang itu masuk tanpa
permisi padanya. Nampaknya telah terbiasa dan akrab bersama dirinya.
“Yaaa! Kenapa kau betah sekali
menyendiri di sini? Apa apartemen ini terlalu bagus untuk kau tempati?” ujar
seseorang itu, teman satu kerja dengannya setengah tahun lalu.
“Kau bawa apa? Memangnya kau mau
menginap berapa malam lagi di sini?” tanyanya.
“Vande! Ahh..! Mau sampai kapan kau
tak keluar dari apartemen ini? Apa kau juga tak bisa menjawab pertanyaanku kali
ini?” ketus temannya.
Ia diam dan tak bersuara lagi.
Langkah kakinya menuju studio ruang bawah tanah, diikuti oleh temannya.
Cepat-cepat ia pegangi gitar dan memainkannya tanpa mempedulikan temannya yang
sedari tadi terus bertanya. Ia tetap tak mau bersuara dan membisu, seakan tak
mendengar apa pun.
“Kali ini kuingin kau dengar aku
berbicara. Setelah ini silakan kau tak mendengarkannya lagi.”
Kali ini pandangannya tertuju pada
temannya itu. Denting gitar mulai berhenti berbunyi. Ia lepaskan gitar dari
pangkuan. Tampaknya ia benar-benar ingin mendengar ucapan temannya sekarang.
“Dunia ini luas, Vande. Kutahu
menahan rindu itu melelahkan. Aku juga merasakan itu. Namun hidup kita bukan
untuk selalu merindui seseorang setiap saat hingga kita lupa segalanya. Selama
setahun ini dia tak memberi kabar padamu; selama setahun ini dia menghilang.
Dia memberimu harapan untuk kau merinduinya. Sekarang kutanya, apa dia juga
menahan rindu untukmu? Jika iya, kau bisa menyampaikan rindu lewat lagumu di
atas panggung empat hari lagi. Aku ingin kau menjadi vokalis sekaligus gitaris
di dalam bandku. Jika ia merindukanmu, ia pasti akan datang,”
ucap temannya. Berlalu dari hadapan.
Meninggalkan ia menatap hampa sendiri.
“Oh, iya, aku tunggu empat hari lagi
di panggung!” ujar temannya. Kali ini benar-benar berlalu dan tak tampak lagi.
Tibalah hari di mana acara konser
dilaksanakan. Temannya masih menunggu di ruang tunggu belakang panggung sambil
mencari-cari sosok dirinya. Lima belas menit lagi temannya bersama personil
band lain akan tampil. Ia tak jua menampakkan diri di sana, membuat temannya
sedikit kesal.
“Apa kau benar-benar tak akan
datang, Vande? Bagaimana bisa sebuah rindu yang kau tahan mampu menutup dirimu?
Sedang perempuanmu tak mengetahui; perempuanmu sibuk dengan urusannya sendiri,
meninggalkanmu. Hingga kau sendiri tak mengenal keinginanmu sesungguhnya.” Kata
temannya dalam hati. Kecewa.
Hanya tinggal tujuh menit lagi waktu
tersisa akan tampil di panggung. Ia tetap tak terlihat. Kali ini temannya
benar-benar pasrah dan tak memikirkannya lagi. Hanya panggung yang temannya
pikirkan sekarang.
“Apa Vande benar-benar tak akan
datang, Nda?” tanya personil lain yang menduduki bassis.
“Apa sebenarnya yang ia pikirkan?
Bukankah ia tak bisa kalau tak menyentuh panggung,” sambung drummer band.
“Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa
lagi. Mungkin ini yang ia inginkan. Reval! Kau maju sebagai vokalis malam ini.
Kita bersiap. Sebentar lagi giliran kita tampil.” Jawab temannya.
Belum sampai mereka berjalan menuju
panggung. Tiba-tiba terdengar suara dari atas panggung.
“Tenggelam
dalam gelap, sendiri tak berkawan, merindui bayang semu yang jauh di pulau
seberang. Ho ho ho ho ho ho, ho ho ho ho ho ho. Merindu kekasih halal, suatu
saat berjumpa kembali, rindu pilu kutahan selalu.”
Lirik demi lirik terus mereka
dengarkan. Menenggelamkan mereka pada lagu tersebut. Ia telah berada di atas
panggung. Disaksikan jutaan para penonton dari pelbagai kalangan. Rindu di hati
memberanikan ia tampil sempurna di bawah lampu panggung. Menyampaikan
perasaannya lewat satu lagu ini kepada perempuan yang ia rindu dan ia tunggu.
Berharap ada di antara jutaan penonton.
“Mungkin kalian pernah menahan
rindu. Entah rindu itu untuk kekasih yang terus berada di samping kalian, atau
justru rindu kepada seseorang yang telah kalian pilih matang-matang di dalam
hati yang tak bisa kalian dekap. Aku merasakannya selama ini, karena menahan
rindu membuatku menutup diri dan tidak peduli pada sekeliling, termasuk diriku
sendiri. Yang aku tahu hanya merindu dan menunggu, berharap yang dicintai juga
merasakan. Aku sadar menahan rindu terlalu berlebihan membuatku sakit dan
semakin jatuh. Hari ini kutemukan waktu yang tepat mengungkapkan rindu ini
lewat lagu. Semoga dia mendengarkan!”
Ucapnya seusai menyanyi.
Riuh tepuk tangan dari penonton berkelanjutan. Tanpa disadari temannya
bersama personil band lain mengikuti tepuk tangan penonton sambil berdiri di
sampingnya.
“Terima kasih telah datang di
acaraku. Eh, bukan, acaramu,” ujar temannya berbisik padanya.
Dalam waktu bersamaan terdengar
suara nyanyian merdu dari belakang panggung. Sontak ia bersama temannya dan
yang lain terkejut bukan kepalang. Bertanya-tanya siapa
gerangan yang bernyanyi, namun wajah penyanyi itu belum tampak. Untuk beranjak
ke belakang panggung tak mungkin, sedangkan para penonton tengah terlena
mendengar lagu itu.
Pada reff, barulah ia mengenali suara itu. Dari kejauhan tampak seseorang
tengah mendekatinya perlahan-lahan sambil bernyanyi. Terus melontarkan lirik
lagu rindu. Semakin dekat, akhirnya semakin jelas wajah tersebut.
“Menahan rindu itu terkadang
menyakitkan, namun juga tak jarang sangat bermakna. Inilah rindunya padaku dan
ini jugalah rinduku padanya. Aku pergi bukan untuk menghilang, namun untuk
mengajarkan apa itu rindu sebenarnya.” Ujar perempuan tersebut yang ternyata
perempuan yang ditunggu dan dirindui olehnya.
Riuh tepuk tangan penonton semakin
menjadi. Ia hanya mampu menangkap sorot mata perempuan itu. Tanpa disadari
semua hal yang ia lakukan selama satu tahun ini mengajarkannya dan
menyadarkannya lebih jelas hari ini.
[Lolos Lomba
Flash Fiction Story Bersama Penerbit Nerin Media]
Ilustrasi gambar dari : https://rebanas.com/gambar/images/10-mewarnai-gambar-gitar-pemandangan- kartun-masjid-mobil
No comments:
Post a Comment