Breaking

Selamat datang di blog Rahmi Intan. Blog ini mengenai seputar karya-karya Rahmi Intan

Tuesday, January 23, 2018

Melalui Lagu dan Gitar Ini (Cerpen Remaja)



Melalui  Lagu dan  Gitar  Ini
Oleh : Rahmi Intan

            “Tenggelam dalam gelap, sendiri tak berkawan, merindui bayang semu yang jauh di pulau seberang. Ho ho ho ho ho ho, ho ho ho ho ho ho. Merindu kekasih halal, suatu saat berjumpa kembali, rindu pilu kutahan selalu.”
            Lagu itu terus ia nyanyikan di teras apartemen lantai dua. Tak jemu ia pandangi langit berbinar yang menyapa dengan cahaya terang. Rindu di hati terus mengalir. Ia menangkap bayangan orang yang dirindui melalui denting gitar, diiringi suara merdu keluar dari mulutnya. Perlahan-lahan denting gitar mulai hilang. Semilir angin menggantikan alunan musik merdu. Kini ia berada di ruang bawah tanah. Di mana hanya ada alat-alat musik berjejeran, begitu juga pernak-pernik lainnya. Ia ingat sekali kenangan bersama perempuan itu di sini, perempuan yang sangat dirindui hingga saat ini. Sayangnya, rindu ini terlalu sulit untuk diungkapkan.
            “Rindukan aku saat kau memetik tali gitar. Mungkin di saat itu aku bisa merasakan lagumu. Tunggu aku kembali!” ucap perempuan itu sebelum berangkat jauh ke pulau seberang.
            Kata itu masih jelas terngiang di telinga. Bagaimana tidak, ia dan perempuan itu dipertemukan di sebuah audisi menyanyi tahun lalu. Ia menjabatkan tangan kepada perempuan itu di antara seribu perempuan lain sempurna. Hatinya terpaut padu dianugerahkan Allah kepada perempuan yang menurutnya kekasih halal nanti. 
            Anugerahku adalah menahan rindu kepada orang yang kucintai. Pun rindu itu nantinya bisa membuatku hidup. Terkadang aku juga lemah pada rindu ini, namun kesempurnaan cintanya membuatku tegak kembali. Lewat lagu ini, kutitip salam padanya.
            Bel dari balik pintu apartemen terdengar berbunyi. Bergegas ia ke ruang atas menuju pintu masuk utama. Terlihat seseorang sedang membawa banyak barang. Di tangan kanan:  tas, dan di tangan kiri: makanan. Cepat orang itu masuk tanpa permisi padanya. Nampaknya telah terbiasa dan akrab bersama dirinya.
            “Yaaa! Kenapa kau betah sekali menyendiri di sini? Apa apartemen ini terlalu bagus untuk kau tempati?” ujar seseorang itu, teman satu kerja dengannya setengah tahun lalu.
            “Kau bawa apa? Memangnya kau mau menginap berapa malam lagi di sini?” tanyanya.
            “Vande! Ahh..! Mau sampai kapan kau tak keluar dari apartemen ini? Apa kau juga tak bisa menjawab pertanyaanku kali ini?” ketus temannya.
            Ia diam dan tak bersuara lagi. Langkah kakinya menuju studio ruang bawah tanah, diikuti oleh temannya. Cepat-cepat ia pegangi gitar dan memainkannya tanpa mempedulikan temannya yang sedari tadi terus bertanya. Ia tetap tak mau bersuara dan membisu, seakan tak mendengar apa pun.
            “Kali ini kuingin kau dengar aku berbicara. Setelah ini silakan kau tak mendengarkannya lagi.”
            Kali ini pandangannya tertuju pada temannya itu. Denting gitar mulai berhenti berbunyi. Ia lepaskan gitar dari pangkuan. Tampaknya ia benar-benar ingin mendengar ucapan temannya sekarang.
            “Dunia ini luas, Vande. Kutahu menahan rindu itu melelahkan. Aku juga merasakan itu. Namun hidup kita bukan untuk selalu merindui seseorang setiap saat hingga kita lupa segalanya. Selama setahun ini dia tak memberi kabar padamu; selama setahun ini dia menghilang. Dia memberimu harapan untuk kau merinduinya. Sekarang kutanya, apa dia juga menahan rindu untukmu? Jika iya, kau bisa menyampaikan rindu lewat lagumu di atas panggung empat hari lagi. Aku ingin kau menjadi vokalis sekaligus gitaris di dalam bandku. Jika ia merindukanmu, ia pasti akan datang,ucap temannya. Berlalu dari hadapan. Meninggalkan ia menatap hampa sendiri.
            “Oh, iya, aku tunggu empat hari lagi di panggung!” ujar temannya. Kali ini benar-benar berlalu dan tak tampak lagi.
            Tibalah hari di mana acara konser dilaksanakan. Temannya masih menunggu di ruang tunggu belakang panggung sambil mencari-cari sosok dirinya. Lima belas menit lagi temannya bersama personil band lain akan tampil. Ia tak jua menampakkan diri di sana, membuat temannya sedikit kesal.
            “Apa kau benar-benar tak akan datang, Vande? Bagaimana bisa sebuah rindu yang kau tahan mampu menutup dirimu? Sedang perempuanmu tak mengetahui; perempuanmu sibuk dengan urusannya sendiri, meninggalkanmu. Hingga kau sendiri tak mengenal keinginanmu sesungguhnya.” Kata temannya dalam hati. Kecewa.
            Hanya tinggal tujuh menit lagi waktu tersisa akan tampil di panggung. Ia tetap tak terlihat. Kali ini temannya benar-benar pasrah dan tak memikirkannya lagi. Hanya panggung yang temannya pikirkan sekarang.
            “Apa Vande benar-benar tak akan datang, Nda?” tanya personil lain yang menduduki bassis.
            “Apa sebenarnya yang ia pikirkan? Bukankah ia tak bisa kalau tak menyentuh panggung,” sambung drummer band.
            “Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mungkin ini yang ia inginkan. Reval! Kau maju sebagai vokalis malam ini. Kita bersiap. Sebentar lagi giliran kita tampil.” Jawab temannya.
            Belum sampai mereka berjalan menuju panggung. Tiba-tiba terdengar suara dari atas panggung.
             “Tenggelam dalam gelap, sendiri tak berkawan, merindui bayang semu yang jauh di pulau seberang. Ho ho ho ho ho ho, ho ho ho ho ho ho. Merindu kekasih halal, suatu saat berjumpa kembali, rindu pilu kutahan selalu.”
            Lirik demi lirik terus mereka dengarkan. Menenggelamkan mereka pada lagu tersebut. Ia telah berada di atas panggung. Disaksikan jutaan para penonton dari pelbagai kalangan. Rindu di hati memberanikan ia tampil sempurna di bawah lampu panggung. Menyampaikan perasaannya lewat satu lagu ini kepada perempuan yang ia rindu dan ia tunggu. Berharap ada di antara jutaan penonton.
            “Mungkin kalian pernah menahan rindu. Entah rindu itu untuk kekasih yang terus berada di samping kalian, atau justru rindu kepada seseorang yang telah kalian pilih matang-matang di dalam hati yang tak bisa kalian dekap. Aku merasakannya selama ini, karena menahan rindu membuatku menutup diri dan tidak peduli pada sekeliling, termasuk diriku sendiri. Yang aku tahu hanya merindu dan menunggu, berharap yang dicintai juga merasakan. Aku sadar menahan rindu terlalu berlebihan membuatku sakit dan semakin jatuh. Hari ini kutemukan waktu yang tepat mengungkapkan rindu ini lewat lagu. Semoga dia mendengarkan!”  Ucapnya seusai menyanyi.
              Riuh tepuk tangan dari penonton berkelanjutan. Tanpa disadari temannya bersama personil band lain mengikuti tepuk tangan penonton sambil berdiri di sampingnya.
            “Terima kasih telah datang di acaraku. Eh, bukan, acaramu,” ujar temannya berbisik padanya.
            Dalam waktu bersamaan terdengar suara nyanyian merdu dari belakang panggung. Sontak ia bersama temannya dan yang lain terkejut bukan kepalang. Bertanya-tanya siapa gerangan yang bernyanyi, namun wajah penyanyi itu belum tampak. Untuk beranjak ke belakang panggung tak mungkin, sedangkan para penonton tengah terlena mendengar lagu itu.
            Pada reff, barulah ia mengenali suara itu. Dari kejauhan tampak seseorang tengah mendekatinya perlahan-lahan sambil bernyanyi. Terus melontarkan lirik lagu rindu. Semakin dekat, akhirnya semakin jelas wajah tersebut.
            “Menahan rindu itu terkadang menyakitkan, namun juga tak jarang sangat bermakna. Inilah rindunya padaku dan ini jugalah rinduku padanya. Aku pergi bukan untuk menghilang, namun untuk mengajarkan apa itu rindu sebenarnya.” Ujar perempuan tersebut yang ternyata perempuan yang ditunggu dan dirindui olehnya.
            Riuh tepuk tangan penonton semakin menjadi. Ia hanya mampu menangkap sorot mata perempuan itu. Tanpa disadari semua hal yang ia lakukan selama satu tahun ini mengajarkannya dan menyadarkannya lebih jelas hari ini.

[Lolos Lomba Flash Fiction Story Bersama Penerbit Nerin Media]

Bukittinggi, 13 Mei 2015

Ilustrasi gambar dari : https://rebanas.com/gambar/images/10-mewarnai-gambar-gitar-pemandangan-                                      kartun-masjid-mobil

No comments:

Post a Comment