Jeritan Hati Gadis Berangan
Oleh : Rahmi Intan
Sedikit awan mendung menggelayuti langit, sawah mulai menguning, dan dibarengi indahnya Gunung Marapi. Sebuah pemandangan yang menakjubkan untuk semua orang yang memandangi. Menyimpan sejuta asa di balik pesonanya. Inginkan terbang melewati Gunung Marapi, menggapai langit, mendekati matahari, serta menemukan cahaya terang.
Mondar mandir ke sana kemari bersiap-siap menuju kampus, itulah yang kulakukan pagi itu di kos. Menjemurkan kain di sebuah untaian tali yang agak sedikit panjang. Lalu berlari-lari kecil menuju kampus agar tidak terlambat. Hari ini adalah hari pertama berada di semester 3. Tak terasa setahun begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin mendaftarkan diri di kampus ini, sekarang sudah menginjak semester yang mulai agak menegangkan dari sebelumnya.
Dari kejauhan, kulihat mereka duduk santai di kursi, di bawah pohon yang sedikit rindang di depan gedung x. Wajah mereka masih sama seperti sebelumnya. Tak menaruh perhatian yang berlebihan ketika kumendekat. Tampak tangan seseorang melambai ke arahku dari sana, berteriak sambil mendekatiku. Ternyata Irka, sahabat terbaikku.
“Apa kabar, Afila?”
“Baik. Kamu sendiri bagaimana? Sudah lama tak bertemu,” jawabku semangat.
“Kamu sekarang kurusan, Afila? Sakit?” tanya Irka menebak.
“Biasa aja. Aku, `kan, memang sudah kurus dari dulu. Aku tidak sakit, baik-baik saja.”
Ketika Irka ingin menjawab. Tiba-tiba segerombolan teman-teman lokal yang awalnya duduk santai di kursi, di bawah pohon yang rindang perlahan mendekati kami. Menatap kami dengan wajah sangar yang membuat kami sedikit heran.
“Hari ini dosen tidak masuk, katanya sakit.”
“Kuliah mulai aktif senin depan.”
Yang lainnya menjawab, “Lebih baik kita pulang, mau mengapa lagi di sini? Toh, tidak ada urusan lagi, `kan, di sini?
“Betul. Mungkin besok dosen lain masuk. Ayo, kita pulang! Bye-bye!” ucapnya melambaikan tangan ke arahku dan Irka.
Suara heboh hilang seketika, lantas mereka telah pergi satu persatu. Berlalu dari hadapanku dan Irka. Aku hanya mendengarkan saja celotehan, omongan, ataupun humor mereka. Terkadang kesal menghantui hati, merasuk pikiran. Walau begitu, kutahan jua.
Tak ada kegiatan yang akan kukerjakan di kos sepulang dari kampus. Tiba-tiba pikiran langsung tertuju ke laptop. Kuambil laptop dan duduk di atas kasur. Sebuah angan-angan melayang di pikiran, angan-angan ingin kucapai, tapi belum juga tercapai. Lama juga kutermenung. Akhirnya kutersadar, setiap usaha pasti akan ada hasil terbaiknya. Barulah kuhentikan lamunan. Kulanjutkan kerja di depan mata yang sempat tertunda kemarin, sembari mendengarkan irama musik berjam-jam hingga larut malam.
Berhari-hari kududuk di depan laptop menatap layar terang yang membuat mata perih. Sesekali kuusap dengan kedua tanganku, tapi belum ada sebuah cahaya terang yang terlintas di pikiran. Sedikit terlintas, tapi hanya terlintas saja tanpa dibarengi dengan mengetik.
Semenjak pertama kali kuliah di semester 3 sampai sekarang pun kepalaku terasa sangat sakit sekali. Tak tahu kenapa, entah karena sering kena rinai hujan atau memang pikiran terlalu berat. Pergi ke kampus pun aku tak semangat dulu.
****
Pagi itu, tepat hari ke-4 kuliah di semester 3. Kuberdiri di depan lemari sembari mengambil dompet. Lantas kuterheran, hanya ada uang Rp4.000 tersisa. Rasanya baru kemarin kubawa uang dari kampung. Baru kusadari, uang itu hanya cukup untuk biaya angsuran laptop dan biaya angsuran kos perbulan. Sisanya untuk kebutuhan. Kutetap berjalan ke kampus dengan semangat, meski uang di kantung tak seberapa. Duduk diam kuterpaku di depan lokal. Pandangan tetap mengarah ke Gunung Marapi diselubungi asap tebal. Sejak belakangan ini, Gunung itu selalu bermasalah kembali. Biasanya terlihat air mancur di pinggang Gunung, namun kini semua putih.“Ui, melamun saja!” sergah Irka menepuk pundakku.
“Melamun?”
“Ada apa? Kalau ada masalah, cerita saja samaku. Sayang lho, masalah dipendam nanti jadi penyakit.”
“Ooohh! Aku baik-baik saja,” jawabku tenang.
“Kalau kamu butuh bantuan, aku pasti ada.”
Rasa iba hati yang dirasakan takkan bisa diobati hanya dengan bercerita. Serasa tak ada yang bisa menolong, kecuali Sang Khalik. Maka tak kusampaikan pada Irka, ku tak mau menyusahkannya. Walau sebenar aku membutuhkan uang saat ini. Celotehan dari teman-teman terdengar kembali seperti hari sebelumnya. Mereka berkumpul di hadapanku dan Irka. Sesaat lenyah.
Napas menjadi tak karuan, mata berkunang-kunang, pandangan ke arah Gunung Marapi terlihat kabur, kadang jelas, kadang tidak. Tak mengerti dengan apa yang dirasakan saat ini. Kupaksa raga berdiri untuk masuk ke dalam kos, setelah beberapa menit duduk di teras. Beberapa kali kucoba untuk membaringakan badan di atas kasur, tapi mata tak mau terlelap. Pikiran masih melayang-layang sama seperti sebelumnya. Kali ini lebih berbeda, karena sambal untuk dimakan tak ada. Uang di kantung hanya tinggal Rp2.000, setelah tadi pagi berbelanja 2 buah gorengan di kantin untuk pengganjal perut.
Mencoba menahan dengan sekuat tenaga. Kuelus perut agar terasa sedikit tenang, tapi semua itu tak mampan. Perut semakin berbunyi kencang, seakan ingin meminta sesuatu. Terus kutahan, tak peduli dengan sekitar. Kadang telintas, kenapa aku tak menyayangi diri? Kuambil phone cell. Sesaat, terdengar suara Ayah dari phone cell.
“Assalamu’alaikum!”
“Walaikumsalam! Apa kabar, Yah?”
“Baik. Kamu sendiri?”
“Baik juga, Yah. Uang Afila hanya tinggal dua ribu. Kapan Ayah kirim uang lagi?”
“Dua hari lagi, in syaa Allah. Sekarang uang Ayah tak ada. Belajar yang rajin! Ayah tutup telponnya.”
Kugenggam erat-erat phone cell ke dada, kutarik napas dalam-dalam, dan kuembuskan perlahan-lahan keluar. Sampai malam kutahan rasa lapar, kubiarkan perut keroncongan. Mau bagaimana lagi, aku tak mau menyusahkan orang yang ada di sekitar. Tiba-tiba timbul cahaya terang di kepala, kukerjakan pekerjaan di depan mata. Kuketik naskah dan dikirim ke rubrik. Rasa lapar hilang begitu saja, karena terlalu asyik, sampai larut malam baru kuterlelap.
Kumanfaatkan jaringan wi-fi yang ada untuk mengirim naskah ke rubrik. Beberapa naskah kukirim, berharap si Editor menyukainya. Sudah lebih dari 20 naskah cerpen yang terkirim dan juga puluhan naskah lainnya diikutsertakan dalam lomba. Memang tak ada kabar dari si Editor majalah ataupun koran. Tetap sabar menunggu.
Kupandangi Gunung Marapi menjulang tinggi mendekati langit, kupandangi dalam-dalam. Kutemukan sebuah angan-angan setiap kali memandangi Gunung Marapi itu. Entah kenapa, gunung itu memberikan kesejukan tersendiri untukku.
Aku berharap bisa sepertimu, Gunung Marapi. Bisa dilihat semua orang dengan keindahan yang kau miliki. Dikagumi banyak orang. Semua orang ingin mendekapmu.
Kupalingkan badan dan menuju kamar kos. Berharap besok ataupun nanti, hasil jerih payah bisa menjadi sebuah karya untuk dinikmati orang banyak. Bisa menjadi motivasi untuk semua.
****
Tepat hari sabtu, aku pulang ke kampung. Pagi itu, kusiapkan semua barang yang akan dibawa pulang. Kuberjalan ke terminal dengan tergesa-gesa. Menaiki mobil dan menuju kampung.“Yah, hari ini Afila pulang,” kataku kepada Ayah menelpon.
“Nanti kalau sudah sampai, kamu telpon Ayah. Ayah sedang bekerja. Hati-hati!”
“Baik, Yah.”
Belum lama di perjalanan, terlihat mobil oleng. Braakk! Terdengar mobil memasuki jurang yang cukup lumayan tinggi, ternyata mobil yang kutumpangi tersangkut di sela-sela pohon. Segerombolan orang mulai berdatangan ke tempat kejadian. Salah satu dari mereka membopongku keluar dari mobil. Berkali-kali mereka memeriksa urat nadiku, tak disangka ternyata sudah tak bernyawa lagi.
“Innalillahiwainna’ilaihiroji’un!” ucap orang yang berada di tempat kejadian.
Salah satu dari mereka menelpon Ayah, mereka mengambil phone cell di dalam tasku.
“Dengan Pak Fuddin? Apakah Afila anak bapak? Kami mendapat dia tak bernyawa lagi, setelah mobil yang dia tumpangi masuk ke dalam jurang.”
Braakkk! phone cell hitam berpadu coklat jatuh ke lantai. Dengan langkah seribu, Ayah mengambil motor dan menuju tempat kejadian. Lama perjalanan tak membuat Ayah letih berkendara untuk melihat keadaanku yang sebenarnya. Sampai di rumah sakit, Ayah tertunduk diam terpaku dengan mata berkaca-kaca melihat ragaku tak bernyawa lagi.
“Secepat inikah kamu meninggalkan dunia ini, Nak? Kamu adalah harapan Ayah satu-satunya,” kata Ayah menatap jasadku.
Semua orang di sana berusaha menenangkan. Teman-temanku menangis tersedu-sedu, tak tahu apa yang akan mereka katakan lagi. Rasa bersalah hanya bisa disimpan begitu saja. Berharap masih ada kata maaf tersisa.
“Aku minta maaf, Afila! Terima kasih, kamu telah menjadi sahabat terbaik dalam hidupku. Semoga tenang, Sahabatku!” ujar Irka menangis tak tahan.
“Aku juga minta maaf, Afila! Baru kusadari kalau kamu berharga. Kami menyesal selama ini tak pernah peduli padamu,” jawab yang lain.
Proses pemakaman berjalan lancar sore itu, kepergianku dihiasi dengan langit yang cerah dan doa-doa yang tulus. Tepat di hari kumeninggalkan dunia, keberuntungan datang beruntun. phone cell-ku berbunyi di dalam tas, Ayah mengambil dan mengangkatnya. Terdengar suara dari seorang perempuan.
“Selamat sore! Dengan saudari Afila Syahira?”
“Selamat sore juga. Ini orangtuanya, ini siapa?”
“Kami dari editor majalah Ratu ingin memberitahukan bahwa cerpen saudari Afila Syahira akan dimuat di edisi 44.”
“Sebelumnya saya ingin memberitahukan bahwa Afila sudah meninggal dunia tadi pagi.”
“Innalillahiwainna’ilaihiroji’un! Bapak yang sabar. Semoga saudari Afila diterima di sisi-Nya! Kami tetap akan menerbitkan cerpen saudari Afila. Cerpen yang dibuat saudari Afila persis sama dengan kejadian yang dia alami sekarang, bagus untuk motivasi khalayak ramai.” ucap si Editor.
“Iya. Terima kasih! Saya terserah saja.”
Selang beberapa menit setelah itu, phone cell kembali berbunyi. Kata yang dilontarkan seseorang di dalam phone cell sama seperti tadi, bahwa cerpenku dimuat di majalah Indah. tidak hanya itu, si Editor rubrik lainnya juga melontarkan kata yang sama. Hingga di rekeningku sudah terkumpul uang dengan jumlah yang lumayan banyak. Hasil jerih payah selama ini membuahkan hasil.
Aku tak tahu kalau hari kamis adalah hari terakhir kubertemu dengan teman-teman di kampus. Aku juga tak tahu kalau tadi pagi terakhir kalinya kumendengar suara Ayah. Cerpen yang susah payah kubuat selama ini membuahkan hasil ketika aku sudah tiada.
Jeritan hatiku yang berangan-angan ingin seperti Gunung Marapi, kini tercapai. Hanya melambaikan tangan dari kejauhan yang bisa kulakukan. Sebab, raga yang sudah mati tak akan pernah balik kembali.
Bukittinggi, 2014
Pembuatan cerita ini ketika awal menulis--mencoba menoreh karya.
Ilustrasi photo dari : http://angka-sebelas.blogspot.co.id/2013/09/pahamilah-wanitamu.html
No comments:
Post a Comment