Breaking

Selamat datang di blog Rahmi Intan. Blog ini mengenai seputar karya-karya Rahmi Intan

Friday, March 16, 2018

March 16, 2018

Tips menulis ringan penulis Tere Liye (Darwis)

Tere Liye, nama pena dari Darwis, Penulis yang tak asing di Indonesia. Penulis Fiksi ini punya cara menulis yang khas. Tentu bagi para penulis maupun penikmat tulisan Tere Liye mengenal karangan-karangan penulis asal Lahat ini. Berikut tips-tips menulis Tere Liye yang dilansir dari media sosial:
1. Tulis apa saja. Tema apa saja. Buat sudut pandang yang berbeda.
2. Rajin membaca. Mau menulis, tapi malas membaca sama saja dengan tidak. Selain itu, rajin melakukan perjalanan untuk menambah pengalaman baru. Perjalanan yang dilakukan tidak harus jauh-jauh, bisa yang dekat saja, misal ke pasar, ke tempat-tempat sekitar rumah, dan lainnya. Jika budget lebih, silakan lakukan perjalanan jauh akan lebih baik. Belajar dari orang-orang yang telah berpengalaman di bidangnya untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
3. Gaya bahasa. Untuk menulis di awal paragraf, tulis saja apa yang ada di pikiran. Bebas. Setelah itu, nanti baru diperbaiki.
4. Bak kata pepatah minang, "Apa kaji dek baulang." Intinya rajin menulis. Latihan terus sampai tulisan menjadi lebih baik. Punya niat menulis, tapi tidak menulis bagaimana jadi penulis? Tekad sungguh-sungguh.

Begitulah tips menulis Tere Liye. Tidak muluk-muluk. Ringan saja, tapi mengena.

Semoga bermanfaat..

Saturday, February 17, 2018

February 17, 2018

Sebuah Pernyataan (Cerpen Remaja)



Sebuah Pernyataan
Oleh : Rahmi Intan

Empat bulan ia habiskan waktu untuk mengikuti lati-han bernyanyi. Di samping kesibukan kerja. Baru dua minggu lalu ia diterima kerja setelah wisuda. Lama sekali ia ingin berjumpa kedua sahabat lama, terpisah perguruan tinggi berbeda. Perpisahan terakhir mereka diwarnai de-ngan coret baju, sebagian baju lain disumbangkan ke panti asuhan. Sejak itu tak ada kabar lagi.

Biasanya mereka saling menyurati satu sama lain. Dua tahun belakangan hilang seperti ditelan bumi. Pertanyaan demi pertanyaan membumbung di benak. Jawaban tak jua didapat. Bersabar adalah hal yang mesti diikhlaskan. Sampai suatu saat kabar menghampiri.

Sore itu, seperti biasa ia latihan di studio muser. Lang-kah kaki mengejutkannya dari balik pintu. Masuklah sese-orang dengan gaya seadanya. Awalnya ia berpikir laki-laki itu teman dari personil band di studio itu, dan akan menghampiri mereka. Perlahan-lahan laki-laki itu mendekat kepadanya.
“Talisa.. Masih ingat aku? Kita bertiga dulu sering menghibur anak di panti asuhan.”
“Rean?”
“Ya.. Naldo bagaimana kabarnya?”
“Sudah dua tahun aku tak berkomunikasi dengannya.”  
Takdir akhirnya memertemukan Talisa dan Rean kem-bali. Sempat sebelumnya tak ada harapan lagi untuk bersua. Percakapan mereka dibumbui saling mengingat masalalu. Sebuah kafe yang lumayan besar dan unik adalah tempat di mana Talisa, Rean, dan Naldo menghabisakan waktu santai. Hari ini hanya Talisa dan Rean yang tengah bercakap-cakap di sana.

“Pekerjaanmu apa sekarang, Rean?”

“Sejak kita bersama terakhir kali, aku tak melanjutkan ke perguruan tinggi. Sesekali aku manggung di kafe, cukup untuk lepas makan saja.”
“Sampai sekarang pun, kamu masih manggung di kafe sama anak bandmu?”
“Jarang. Aku sekarang kerja paruh waktu. Memang susah di zaman sekarang, aku pun sedikit kewalahan jika tak bekerja walau sehari.”
“Kamu, kan belum punya istri. Kenapa mesti pusing?”
“Kekasih dan istriku cuma satu, Tuhan yang memberikan suatu saat. Bapakku sudah dua tahun belakangan sakit-sakitan,” jawab Rean. Sedikit iba hati.
“Kamunya berusaha. Semoga bapakmu cepat sembuh!”
Tiba-tiba saja omongan mereka terputus oleh seseorang. Talisa dan Rean tercengang. Sesekali Talisa melempar pan-dangan ke arah Rean, namun Rean juga kebingungan. Sepertinya Talisa dan Rean mempunyai pikiran yang sama tentang sosok yang berdiri di hadapan mereka.

“Mau pesan apa nak Naldo?” tanya pelayan dari ke-jauhan.
Semakin terjawablah rasa penasaran mereka. Benar saja, pikiran mereka yang sama bahwasannya laki-laki ini adalah sahabat lama mereka, Naldo. Naldo yang tadinya sempat kebingungan juga, akhirnya mengetahui kalau keduanya yang duduk adalah Talisa dan Rean.
“Lama tak bertemu, Naldo?” ucap Talisa.
Naldo tersenyum senang. Naldo dan Rean berpelukan, saling menepuk lengan. Jari tangan mereka bergerak mengikuti yel-yel ketika sekolah menengah pertama dulu. Terpecahlah keheningan di kafe itu dengan ledakan tawa mereka bertiga.
“Kerjamu apa sekarang, Naldo?” tanya Rean sambil melumat makanan di mulut.
“Dokter. Kamu Rean?”
“Hanya kerja paruh waktu. Pindah sana-sini!”
“Kamu, Talisa?”
“Oh, aku? Aku kerja di kantor bagian keuangan, juga menyanyi di kafe kalau lagi goodmood.”
Hobi Talisa dan Rean memang sama, ditambah lagi Rean memiliki rasa suka pada Talisa sejak sekolah menengah pertama. Hanya saja Talisa tak mengetahui, begitu pula Naldo.

****

Seiring waktu bergulir, tak terasa satu tahun berlalu, ia dan kedua rekannya telah bersama kembali seperti sedia-kala. Namun ada sedikit yang berbeda, Rean terus merasa cemburu pada Naldo dikarenakan Talisa sering berkunjung ke rumah sakit, melihat aktifitas Naldo. Rean terus berpikir karena Naldo lebih kaya, makanya Talisa selalu ingin dekat. Rean memutuskan secara diam-diam meng-umpulkan uang dan ingin menandingi kekayaan Naldo.

Terwujudlah keinginan Rean. Rean bersabar selama se-tahun untuk menandingi Naldo. Ia sama sekali tak mengetahui apa yang diniatkan Rean untuknya. Tiba-tiba saja Rean menjadi sangat populer, punya mobil mewah, dan jauh lebih kaya dibanding Naldo yang hanya berprofesi sebagai dokter spesialis bedah jantung.

Suatu hari Rean mengungkapkan isi hati kepadanya, bahwasannya Rean telah menyukainya sejak sekolah me-nengah pertama. Lantas menjadikannya tercengang. Kaki dan tangannya gemetaran, tak tahu harus menjawab apa. Secara lahir dan batin ia tak menyukai Rean, ia mengang-gap Rean sahabatnya sedari dulu. Nampaknya Rean salah tanggap.

“Dulu, aku bukan orang kaya. Mungkin kamu takkan menerimaku, tapi sekarang aku sudah kaya. Berarti aku sudah boleh menjadi lebih dari sahabat untukmu?” ujar Rean. Berdiri di hadapannya di gerbang rumah sakit.
“Peraturan dari mana?”
“Bukankah Naldo lebih kaya dulunya, kamu selalu ingin di dekatnya.”
“Itukah pikiranmu selama ini, Rean?”
“Aku tak suka melihat kamu dengan Naldo lebih sering bersama, kalian lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Padahal kamu tak begitu menyukai bau obat-obatan di rumah sakit. Makanya sekarang giliranku mengajakmu ke rekamanku. Bukankah itu hobimu?”
“Aku dan Naldo tak ada hubungan apa-apa. Kamu tak perlu merubah dirimu karena ini, dan tak perlu repot-repot mengajakku ke rekamanmu. Sungguh! Aku tak tertarik. Ada banyak hal yang tidak aku sukai dari dirimu sekarang,” ketusnya, berlalu.

Tak lama setelah ia berjalan sepuluh meter. Tak sengaja badannya ditabrak, nyaris ambruk. Dilihatnyalah Naldo tak berseragam dokter seperti biasa. Dia bertanya. Lama diam. Naldo menjawab kalau ia dipecat disebabkan kecelakaan medis yang merenggut nyawa dua pasien sekaligus. Ditambah lagi Naldo satu-satunya dokter yang menentang keras kerja lamban dokter lain, dan Naldo juga tak menyetujui kompetisi sesama dokter untuk menduduki posisi direktur kelak. Membuat rekan dan atasan muak terhadapnya. Tepatlah waktu bagi mereka sekarang tak akan melihat Naldo di rumah sakit ini lagi, bahkan di rumah sakit lain.

Rean mendengar kabar itu sedikit tertawa terpingkal-pingkal. Kini Rean telah menang, akan lebih mudah mem-buatnya menyukai Rean. Kenyataan tak semudah harapan, tak semulus khayalan, jutru ia semakin jauh dari Rean. Ia tak ingin menyakiti hati kedua sahabatnya itu.

Sejak sekolah menengah pertama, ia sudah menaruh hati pada Naldo. Berhubung usianya masih dini, ia menunggu Naldo. Setiap hari Naldolah yang ada di pikirannya. Surat dan email yang tak dibalas terkadang menjadikannya sedih, takut Naldo berpindah ke yang lain. Naldo jadi dokter pun ia tak menghiraukan, baginya kebersamaan. Kalau pun Naldo tak jadi dokter sekalipun seperti sekarang, ia masih tetap ingin bersama. Sedalam-dalam bangkai di kubur, akan tercium jua baunya. Rean mengetahui itu.

“Aku salah telah merayumu dengan harta. Hari ini aku tersadar, bukan harta yang kamu inginkan. Aku juga tulus, bahkan lebih dari Naldo,” ucap Rean. Sore itu.

“Tak apa-apa. Hari ini aku akan berangkat ke luar kota, tuntutan kerjaku,” jawabnya, berlalu.
Rean masih terdiam tegak berdiri tak berkutik. Sebelum Rean mengungkapkan isi hatinya, jauh hari Naldo sudah mengungkapkan. Ia memiliki perasaan yang sama dengan Naldo. Tidak untuk Rean, meski Rean mati-matian berubah kembali seperti dulu.

Pesawat yang ditumpanginya hampir sampai di tujuan, tinggal beberapa jam lagi. Awan menyelimuti pemanda-ngan pesawat, dan pesawat lain tidak sengaja menabrak pesawat yang ditumpanginya, hingga jatuh ke dalam laut. Arwahnya melihat raganya tak bernyawa lagi.

Aku bisa saja menyukai siapapun, namun cinta yang ingin kumiliki hanya satu. Walau dua orang terbaik menaruh hati padaku, tapi hatiku pasti memilih salah seorang. Meskipun tidak adil untuk yang lain. Kamulah orang itu, Naldo. Seseorang yang akan menjadi imamku kelak. Perasaanku tak pernah berubah sejak awal kita berjumpa.

Naldo menggas motor menuju tempat pesawat jatuh. Separuh hati Naldo kali ini terkoyak. Ingin melihat jazadnya. Lambaian arwah tangannya mengantarkan ia ke tempat sesungguhnya—tempat perhentian terakhirnya. Sebab bagaimanapun mengembalikan, tidak akan bisa.


Bukittinggi, 2015

Ilustrasi gambar dari https://id.wikihow.com/Menuliskan-sebuah-Pernyataan-Seniman
February 17, 2018

Sajak Penutup



Bersimpuh Asa pada Cinta

Lantunan nada bergema pada celah hati sunyi

Menyelip kasih pada sela kalbu

Kemuning di ufuk barat menjadi saksi bisu

Remang malam menjemput bayangnya

Malam ini bukan malam kepergiannya

Namun semua yang di sini ingin mendekapnya

Hingga esok kemuning di ufuk barat kembali berhias

Belum terjawab jua pertanyaan yang sudah-sudah

Kusadari ia tak tiba
Hanya bayang-bayang fatamorgana merajut halusinasi 
Kuucap benar-benar selamat tinggal di pelantaran ini 
Tenang di alam berbeda, Bunda Bersimpuh asa pada cinta ikhlas


Bukitiinggi, Oktober 2015


Ilustrasi gambar dari https://bijakkata.wordpress.com/2013/01/19/jangan-pernah-putus-asa-dengan-rahmat-tuhan/

Sunday, February 4, 2018

February 04, 2018

Senja di Peraduan (Cerpen Remaja)


“SENJA DI PERADUAN”
Oleh : Rahmi Intan

            Kuingin bercerita sedikit kepada kalian. Kenapa aku tak begitu suka senja? Sebenarnya bukan senja yang tak kusukai, tapi di balik senjanya. Kuyakin bukan aku saja yang punya cerita, kalian juga. Tentunya cerita yang kalian sajikan tak kalah menarik dariku.
            Sedikit kumenoleh ke arah barat selesai mandi. Setelah benar-benar rapi dan cantik terlihat di cermin. Barulah aku benar-benar berdiri di balik jendela menatap matahari mulai tenggelam, dan siap menjemput kelam. Warnanya begitu cerah. Memantulkan cahayanya ke laut. Mengukir gelombang garis berliku-liku. Ya, laut Sasak. Mungkin dia berada di balik bukit itu.
            Laut ini banyak diminati khalayak. Katanya indah, menarik, dan pantainya memukau. Menghipnotis banyak pengunjung. Aku sendiri belum pernah ke sana. Hanya melihat di balik jendela pantulan cahaya senja. Kelak, aku ingin bersamanya ke sana. Entah itu kapan.
            Sampai matahari benar-benar tenggelam, baru kuberanjak dan menutup jendela perlahan-lahan. Sinar kuningnya masih merambas ke arah kamar. Terlihat jelas di celah-celah jendela yang terbuat dari kayu. Membentuk sebuah kue lapis yang antara lapisan atas dengan lapisan bawah diberi celah selebar 2 cm.
            Tetap kubelai lembut angin sejuk dari fentilasi sembari masih fokus memandangi kilauan cahaya terakhir senja sampai lenyap. Senja inilah mengingatkanku padanya. Melihat indahnya sunset di laut Sasak yang kerapkali diceritakan banyak orang.
            Tersentak dari lamunan. Berlari keluar dari kamar menuju teras rumah. Kupandangi teras rumah neneknya. Baru kusadari lagi, dia tidak ada di sini. Aku lupa, dia berada di pulau Jawa—melanjutkan pendidikan. Paling tidak, dia di sini kala hari kemenangan umat Islam datang. Hari Raya Idul Fitri.
            “Ternyata hanya ilusi,” gumamku. Sebelum memasuki rumah sederhana ini. Dinding terbuat dari papan. Kata tetangga, rumahku ini sudah puluhan tahun telah berdiri. Kakek orangtuaku belum lahir, rumah ini pun sudah ada.
            Kuembuskan napas selepas mungkin. Kuambil air wudhu, dan menunaikan salat fardhu maghrib. Kembali lagi ke kamar. Kali ini mengetik naskah puisi tentang dia lagi. Maklum saja, imajinasiku tertuju padanya. Beberapa naskah puisi telah selesai sudah. Siap untuk dipajang di dinding kamar. Angin sepoi-sepoi selalu ingin membawa kertas itu terbang ke sagaranya.
****
            Senja kembali datang seperti sediakala. Kali ini berbeda dari sebelumnya. Dia ada di sini. Aku sempat tak memercayai ini semua. Berulangkali mata kusapu dengan kedua telapak tangan untuk memastikan hanya ilusi. Bukan. Itu bukan ilusi ternyata. Dia nyata di teras rumah neneknya.
Sambil kutepuk jidat, “Aduh! Besok hari raya Idul Fitri. Kenapa aku jadi pikun seperti ini. Sudah jelas Bang Arya di sini.”
Tak kusadari sepasang bola mata sedari tadi memerhatikan gerak-gerik linglungku. Yang paling membuatku tercengang, dia menyapaku dari teras rumah neneknya. Sempat kumenoleh ke sana kemari. Jari telunjuk kuarahkan ke wajahku.
“Ya, kamu. Siapa lagi?” sapanya dari balik bunga mekar yang tingginya sampai sebahu itu. Neneknya memang pecinta bunga. Batasan rumah kami hanya sederet berbagai macam bunga.
“Kapan pulang, Bang?”
“Baru saja datang. Kabar kamu baggaimana, Marwa? Sehat?”
“Alhamdulillah, sehat. Bang Arya sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah, sehat juga. Dari tadi sedang lihat apa, hayo? Lihat ke arah barat. Lihat sunset, ya?” ujarnya mengajak bercanda.
“Hhmm.. Kalau iya, kenapa memang? Bang Arya pasti juga lihat sunset, `kan?” balasku. Tersenyum.
“Tahu saja, Kamu. Sunset itu indah ternyata dari sini. Kamu lihat! Awannya seperti mengukir nama begitu.”
Sentak kuterpana. Dia jauh lebih tahu tentang sunset yang kulihat hampir setiap hari di balik jendela. “Iya. Bagus sekali! Suatu saat aku ingin ke sana bersama orang yang kusayang,” gumamku. Seperti sedang mengkhayalkan suatu perihal.
“Siapa memangnya orang yang kamu sayang?”
Terbangun dari lamunan. Aku berada di alam nyata, bukan imajinasi. Kata yang kuucap barusan pun tak kuingat sepenuhnya. Spontan aku menjadi berdiri terpaku tak berkutik.
“Marwa! Kamu baik-baik saja? Muka kamu pucat. Ya sudah. Kamu masuk ke rumah saja. Senja begini tidak baik juga untuk perempuan di luar rumah.”
“Ya sudah. Aku masuk ke dalam dulu, Bang Arya. Maaf sekali!” kuambil langkah seribu menuju rumah. Kututup rapat-rapat pintu kamar. Benarkah yang kulihat dan kudengar tadi? Namun begitu, aku rasanya berada di awang-awang. Segera mencapai bulan dan bintang di langit nan telah kelam.
Wajahnya terus terbayang di benak. Jantung berdegup kencang bak genderang mau berperang. Hati tak karuan membayangkan dia sekarang di pelupuk mata. Bukan di imajinasi. Namanya berulangkali kusebut. Berharap dia merasakan yang kurasa. Mungkin.
****
Tertegun di alam nyata. Baru kemarin rasanya dia mengajakku ke laut Sasak. Menatap pemandangan pantai lepas nan elok. Memandangi sunset di antara batu tinggi menjulang. Dia berbisik satu perihal kepadaku. Kalian tahu apa itu?
“Aku mencintaimu, Marwa. Aku inginkan kita tetap selalu seperti ini.”
Senyuman lebar terlukis di bibirku yang terlihat tidak begitu merah, tidak juga pink. Namun tetap cerah, murni tanpa dipolesi lipstik.
“Benarkah,?” tanyaku.
“Iya. Sekarang keinginanmu tercapai. Bisa ke laut Sasak ini bersama orang yang kamu sayangi.”
Aku sempat tercengang sebentar sebelum melontarkan tanda tanya. “Tahu darimana memangnya tentang orang yang aku sayang?”
“Dari hati kamu. Hehe.. Dari tingkah laku kamu, cara bicara, dan terakhir dari raut wajah cantik kamu,” ucapnya meyakinkan sembari tersenyum.
Kini, semua itu menyisakan satu serpihan di relung hati terdalam. Tak mampu berkutik mendengar kabar bahwa dia akan menikah karena dijodohkan orangtua. Aku pun jadi korban cinta. Entah ini cinta palsu atau cinta apalah. Terserah kalian mau menyebut keadaanku ini dengan sebutan apa sekarang?
“Inikah jalan terakhir hubunganku dengannya?” tanyaku dalam hati.
Belum beberapa hari. Kalian tahu apa yang terjadi lagi? Jauh meleset dari perkiraanku sebelumnya. Benarkah ini? Kutepuk wajah meyakinkan yang terjadi, menatap apa yang ada di depan mata sekarang. Belum pernah kutatap yang seperti ini. Nyaris aku akan pingsan. Kalau tak ada iman, mungkin aku sudah roboh di tengah kerumunan manusia lalulalang.
“Kenapa jadi seperti ini, Ya Allah?” ucapku dalam hati.
Senang ketika dia tak jadi menikah. Tapi jauh lebih iba hati terasa ketika dia pergi untuk selamanya. Bagai tersambar petir di siang bolong. Langit tak memberi jawaban. Apalagi senja yang kutatap saat ini.
Beginikah senja yang diimpikan semua orang? Kenapa bagiku sakit? Untuk keluar rumah pun enggan. Menjejaki langkah di peraduan. Tidurlah pilihanku satu-satunya. Membayangkan Bang Arya tengah asyik di alam sana. Sedang apa dia? Adakah dia rindu padaku?
Ibu bergumam lirih memandangiku memunggungi tempatnya berdiri. Seolah beliau mengerti maksudku berbaring di atas kasur empuk ini. Tak lain tak bukan karena kepergian Arya.
“Bangunlah, Nak! Kau takkan hidup jika seperti ini terus. Bukankah kau menginginkan menjadi musisi bersamanya, menciptakan lagu tentang senja. Wujudkanlah! Supaya dia tenang di alam sana,” ujar Ibu mengelus kepalaku lembut. Sebelum berlalu dari hadapan.
Sebelum jam lima sore, pintu jendela kututup rapat. Agar tak ada celah cahaya masuk ke dalam rumah. Begitulah, sampai kuterbiasa dengan senja kembali. Kehilangan memang. Biasanya tiap tahun dia di sini. Tahun besok tidak lagi. Hanya nisannya yang bisa kupandang.
“Semoga tenang di alam sana,” ucapku kala senja waktu itu.

Sebulan berlalu. Kalian mungkin tersenyum melihatku sekarang. Kuayunkan kaki di peraduan, terasa ringan. Tengah asyik memandang sunset, dan mengingat kejadian di balik bukit tersebut. Tiba-tiba saja terdengar suara berdentang keras. Badan yang ditabrak ambruk, begitu juga mobil mewah itu. Berbondong-bondong orang datang. Salah satu memeriksa urat nadi dan detak jantungnya. Tak berfungsi lagi. Diboyong ke rumah sakit pun percuma. Kalian tahu siapa dia? Dialah aku.

Cerpen ini lolos lomba tahun 2015. Untuk mendapatkan bukunya bisa di narahubung Penerbit Pena House.

Ilustrasi gambar diambil dari https://www.google.co.id/search?q=gambar+senja+di+peraduan+pantai+sasak&tbm=isch&source=iu&ictx=1&fir=lKSP-5DLGUKT1M%253A%252CHqMv6FZYuGneeM%252C_&usg=___oEMEFK2cjHH3b8oUQwVeh3_VNs%3D&sa=X&ved=0ahUKEwiwtKmr_ovZAhXEPY8KHRbCBQsQ9QEIODAH#imgrc=lKSP-5DLGUKT1M:
February 04, 2018

Menyelami Makna Persahabatan (Resensi)


“Menyelami Makna Persahabatan”

Sahabat, ya, dia yang selalu merangkulmu di saat suka maupun duka. Tak jarang  dia meninggalkanmu. Namun, hanya ada satu di antara seribu yang mau mendengar keluh kesahmu. Ada saat duka maupun suka. Tentunya kita semua punya kisah masing-masing bersama sahabat, entah itu sahabat laki-laki maupun sabahat perempuan. Seperti kisah yang dituangkan para Cerpenis di dalam buku ini. Mereka menyuguhkan rentetan permasalahan dan kebahagiaan menjadi sebuah sastra yang menggugah.
          ‘Sepasang Mata untuk Khaira’ adalah salah satu cerpen di dalam buku ini. Cerpen ini mengisahkan seseorang yang rela mendonorkan matanya demi sahabat. Ia sangat ingin melihat indahnya pelangi seperti yang dikatakan orang-orang.
          “Aku hanya bisa mendengarkan perkataan orang. Alangkah bahagianya hati ini jika aku bisa melihatnya untuk satu menit saja. Tapi Allah belum mengizinkan aku untuk melihat semuanya itu. Aku yakin Allah sangat sayang padaku. Mungkin Allah lebih menyukai aku seperti ini, yang tak bisa melihat kebesaran ciptaan-Nya.” (Hal 31)
          Aisyah, sahabat sejati yang berada selalu di sampingnya diam-diam mendonorkan mata kepadanya. Pada akhirnya Aisyah tak tertolong lagi. Aisyah telah meninggalkan dunia setelah mendonorkan sepasang bola mata kepadanya. Pengorbanan Aisyah membuatnya menangis dan menyesal.
          “Andai saja aku bisa memilih, aku tak akan mengharapkan sepasang bola mata jika aku harus kehilanganmu, Aisyah. Mungkin ini sudah menjadi kehendak Allah. Aku yakin kamu bahagia di alam sana.” (Hal 43)
          Ada juga cerpen lain yang patut dibaca dan bisa juga dijadikan contoh teladan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti cerpen ‘Tiga Sahabat’ karangan Reni Asih Widyastuti. Cerpen ini mengisahkan seorang perempuan yang mempunyai tiga sahabat, tetapi saling berjauhan. Namun begitu, keakraban yang dijalin tak pernah pupus.
          Sahabat pertamanya, mereka bertemu ketika sekolah dasar. Sahabatnya ini orang yang sangat baik budi pekertinya. Mau berbagi di kala susah maupun senang. Karena sedikit perselisihan ia berinisiatif meminta maaf. Permintaan maafnyalah yang menjadikan persabatan mereka langgeng.
Sahabat keduanya, mereka sama-sama mencari pekerjaan. Berjuang mati-matian. Sudah mencari kerja ke mana-mana tetapi tidak dapat-dapat jua. Nyaris mereka putus asa dibuatnya. Bayangkan saja setiap hari mereka ke sana kemari naik angkot, berharap ada yang menerima mereka di tempat kerja. Hingga akhirnya mereka mendapat pekerjaan walau terpisah jarak.
Sahabat ketiganya, mereka bertemu melalui dunia maya di tahun 2014. Temannya bekerja di Taiwan. Ia sangat ingin seperti sahabatnya menjadi seorang Penulis. Baginya sahabatnya telah sukses. Sebab telah memiliki banyak karya dan sudah terbit di majalah. Ini membuktikan bahwa sahabatnya sudah mendapatkan apa yang diharapkan. Ia sangat ingin seperti sahabatnya itu; menyusul.
          Inilah bukti bahwa sahabat sangat berharga di dalam hidup. Memang tak hanya seberapa yang bisa dijadikan sahabat. Tetapi sudah cukup untuk mengerti hidup satu sama lain. Buat apa banyak, namun sama sekali tidak mengerti susah dan senang satu sama lainnya. Hanya tawa meledak saja yang terdengar. Tangis kecil tak dihiraukan.
          Ada lagi sebuah cerpen di dalam buku ini yang sangat memukau ‘Sahabatku, Cahaya’. Cerpen ini mengisahkan tentang dua sahabat yang berjauhan. Ia memiliki teman bernama Nur Atika. Waktu itu temannya tidak masuk sekolah. Ia sangat khawatir sekali. Pertanyaan silih berganti membumbung di benaknya.
          “Nur Atika, ada apa denganmu? Kenapa akhir-akhir ini kau jarang masuk sekolah? Apakah itu tidak membuatmu menyesal pelajaran sekolah yang terlewati? Ah, semoga dia baik-baik saja, ya, Allah. Walau aku sendiri menjadi sepi sebab ia absen tanpa menitipkan surat izin tidak berangkat sekolah.” (Hal 152)
          Setelah dewasa, sebelum meninggalkan desa, ia mencoba bertandang ke rumah sahabatnya itu. Berharap sepucuk harapan mendapat kabar yang hakiki. Lagi-lagi hanya kabar simpang-siur. Pergi ke luar negeri pilihannya saat itu, demi ekonomi keluarganya. Ribuan waktu terlewati, menyimpan kenangan bersama sahabatnya itu. Maraknya akun facebook dan blog membuat ia tergiur mencobanya. Berharap teman lamanya, Nur Atika bisa menemuinya, dan bercanda gurau kembali seperti sediakala.
          Benar saja, mereka dipertemukan kembali di akun facebook. Waktu itu, untuk kesekian kalinya ia mencari nama Nur Atika. Sejak saat itu mereka saling bergurau kembali. Keduanya melepaskan tawa di inbox  facebook setelah sekian lama saling mencari satu sama lain. Maklum, satu di Indonesia dan satunya lagi di Taiwan.
          Dari cerpen ini kita bisa memetik hikmah bahwa media sosial bisa menghubungkan sebuah persahabatan yang lama hilang. Memang media sosial kerapkali memiliki banyak sisi negatif, tetapi tidak ditutup kemungkinan memiliki banyak sisi positifnya juga. Tergantung kita konsumen yang mempergunakannya.  
          Tidak hanya tiga cerpen di atas saja yang menyajikan cerita menarik. Namun banyak lagi cerita-cerita unik dari cerpenisnya, kisah-kisah yang mengugah hati. Ada cerita duka, cerita bahagia, cerita haru, dan lain sebagainya. Membuat terkesima, sesekali membuat air mata menetes ketika membacanya. Tak jarang kita terbawa arus suasana dan tak bosan-bosan membacanya.   
          Hadirnya buku diharapkan agar kita bisa menyelami dan memaknai arti persahabatan sesungguhnya. Buku ini sangat layak dibaca oleh siapa saja. Sangat baik dibaca di waktu senggang. Sungguh, kumpulan cerpen inspiratif.





Judul buku              : Sepasang Mata untuk Khaira
Penulis                   : Emira Mora, dkk
Penerbit                 : FAM Publishing (Pare, Kediri, Jawa Timur)
Tahun terbit           : Maret, 2015
Tebal buku              : 162 halaman
ISBN                      : 978-602-335-018-6
Peresensi                : Rahmi Intan
Tempat tinggal       : Salibawan, Pasaman, Sumatera Barat


             
February 04, 2018

Menyingkap Problema Sosial Indonesia (Resensi)




Menyingkap Problema Sosial Indonesia

            Sulas tahu, yang diceritakan Ratri itu adalah calon lurah di dapil yang sama dengan daerah pemilihan bapaknya. Tak mungkin seorang calon menghilang tanpa jejak di tengah kerumunan masa kampanye. Jika begitu, apa mungkin? (Hal 15)
            Cerpen “Mayat dalam lumbung” ini menceritakan kisah seorang perempuan yang menemukan sosok jasad yang telah mati di lumbung padi. Sulas yang mulai curiga dari awal ada sesuatu yang tidak beres di lumbung padi membuatnya semakin penasaran untuk menengok. Benar saja, ada sosok mayat berbau anyir di sana. Ia ingin bercerita kepada emaknya, anehnya mulutnya terbungkam. Pun kepada Bandi kekasihnya, ia belum berani menceritakan apa yang dilihat. Akhirnya tanpa sengaja Sulas kecoplosan menyebut mayat. Bandi tidak tinggal diam, ia ingin memberitahu ke warga, namun Sulas menolak.
             Pemilihan calon lurah semakin dekat saja. Bapak Sulas sangat sibuk terlihat mengurus ini-itu. Begitu juga sederet tim sukses bapaknya aktif bekerja, salah satunya Mbah Karsan. Sulas mendengar percakapan itu.
            “Sepertinya, tidak ada halangan lagi. Jika tak terawang, memang cuma dia saingan beratmu, Nang. Kalau si Sakri sih tak perlu dipikirkan. Paling suaranya hanya sepuluh persen.” (hal 14)
               Sulas ingin sekali memberitahu semua orang tentang mayat itu. Tapi dia adalah bapaknya. Bapak kandungnya. Niatnya kembali diurungkan. Sore itu, warga menemukan Sulas pingsan di pintu lumbung padi sambil mengigau mayat, lalu lumbung. Tak ada yang mampu menafsirkan igauannya, kecuali hanya seorang saja; bapaknya.
            Cerpen ini mengkritik tak seharusnya bersikap licik dalam satu pemilihan lurah, hingga nyawa pun menjadi korban. Semestinya bersikap menahan diri. Kalah sabar, menang tawaduk. Tidak hanya cerpen di atas saja, banyak lagi konflik yang ditulis para cerpenis untuk menyingkap problema sosial Indonesia. Penulis-penulis begitu piawai menyuguhkan rentetan-rentetan permasalahan sosial pelik ke dalam sastra yang menggugah.
Melihat Indonesia kian waktu ke waktu semakin kacau. Nah, lahirlah buku ini sebagai kepedulian terhadap Indonesia. Tentunya kita menginginkan Indonesia ke depannya menjadi lebih baik dari sekarang. Buku kumpulan cerpen ini sangat layak dibaca. Supaya kita bisa mengenali permasalahan sosial sekitar.



Judul buku                  : Mayat dalam Lumbung
Penulis                         : Siti Sofiyah, dkk
Penerbit                       : FAM Publishing (Pare, Kediri, Jawa Timur)
Tahun terbit                 : Oktober, 2014
Tebal buku                  : 291 halaman
ISBN                           : 978-602-7956-86-5
Peresensi                     : Rahmi Intan
Tempat tinggal            : Salibawan, pasaman, Sumatera Barat
February 04, 2018

Persemayaman Senja (Puisi di Koran Padang Ekspres)


Persemayaman Senja
Oleh : Rahmi Intan

Kemuning di ufuk barat lenyap bersama waktu
Remang malam menjemput bayangnya
Malam ini bukan malam kepergiannya
Namun semua yang di sini ingin mendekapnya

            Mata tajam menatap kelam langit yang enggan menyambur kilau
            Mengapa tak berbintang?
            Masih bertanya-tanya menerawang
            Akankah ia tiba malam ini?
            Kelam langit diam tetap bersama sekawanan

Kemuning di ufuk barat kali ini bersemayam di jeruji cahaya
Bercengkrama bersama waktu tentangnya yang akan tiba
Ya, mungkin sebentar lagi
Tunggu saja!
Berdiri cukup di pelantaran ini

            Hingga esok kemuning di ufuk barat kembali berhias
            Belum terjawab jua pertanyaan yang sudah-sudah
            Kusadari ia tak tiba
            Hanya bayang-bayang fatamorgana merajut halusinasi
            Kuucap benar-benar selamat tinggal di pelantaran ini
            Tenang di alam berbeda pada persemayaman senja, Bunda

Bukittinggi, September 2015  

Terbit di Padang Ekspres, 18 November 2015